Opini

Siapa Bilang Mereka Malas

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Inilah kisahku. Aku menikah 9 Februari 1992 di Jakarta, namun kami, suami isteri, masih berstatus mahasiswa di Jogjakarta. Sebulan kemudian, kami memutuskan menyewa rumah di suatu dusun di daerah Sewon, Bantul, Jogja.

Dusun itu jauh jika dilihat dari lokasi kampus UGM. Tapi, tidak terbilang jauh, meski juga tak kelewat dekat dengan wilayah perkotaan Jogja.

Dari hasil pengamatan dan perbincangan selama seminggu, aku memutuskan memulai usaha menjadi penjual telur ayam ras. Membeli dari peternak kecil di bantul, yang berjarak 10 km dari kontrakan, dan menjualnya di pasar pagi Giwangan Jogja yang berjarak sekitar 20 km dari lokasi pembelian tadi.

Sarana yang kupakai pada hari pertama adalah sepeda onthel dengan keronjot (keranjang besar) di boncengannya. Sepeda dibeli dari pasar sepeda bekas di daerah Pojok Beteng Kulon, beberapa hari sebelumnya. Keronjot diperoleh dari pasar kota Gede Jogjakarta. Sarana demikian kupelajari dari mengamati beberapa pedagang telur.

Berangkat jam 03.30, diiringi senyum dan doa isteri sampai pekarangan rumah kontrakan yang cukup luas. Setengah jam kemudian, mampir sholat shubuh di masjid agung Bantul. Kemudian lanjut ke lokasi peternak yang berjarak sekitar 3 km dari masjid.

Dua hari sebelumnya sudah disepakati bahwa aku mulai membeli telur dari si peternak, dengan harga menyesuaikan pasarannya. Tidak hanya aku, sudah beberapa pedagang yang biasa membeli di situ. Sebenarnya, terbilang peternak kecil saja, dan kebetulan juga seorang guru SD.

Kami bertransaksi, harus bayar tunai karena pertama kali mengambil di situ. Aku dibantu memuat telur ke keronjot, karena belum biasa. Ternyata butuh penataan tertentu, agar tak mudah pecah selama perjalanan.

Semula aku meminta diisi penuh yang berarti sekitar 100 kg. Peternak menanyakan apakah aku sudah pernah membawa telur bersepeda dengan keronjot. Ketika kujawab belum pernah, dia minta aku hanya mengisi 70 kg saja. Diberitahu bahwa tidak mudah mengendarainya nanti.

Ketika belum dijalankan dan hanya dipegangi, sepertinya semua akan berjalan baik saja. Tatkala aku mau menaiki sepeda berkeronjot dengan muatan telur 70 kg itu, ban depan sepeda selalu terangkat. Berkali-kali kucoba, itu terus terjadi. Aku menjauh dari lokasi peternak dengan hanya menuntun sepeda. Sungkan kepada si peternak yang coba membantu padahal dia mesti melayani pedagang lainnya.

Semua doa dan dzikir yang kuingat kubaca, sambil berkeringat dingin dan keringat panas. Entah bagaimana berhasil juga aku mengendarai sepeda itu. Perjuangan belum selesai, karena di setiap lampu merah atau ada rintangan kendaraan lain, memaksaku berhenti. Mulai dari awal lagi mencoba mengendarainya.

Jarak 20 km ke pasar pagi ditempuh dalam waktu hampir tiga jam. Dua kali dari yang dibutuhkan olehku nanti ketika terbiasa. Jadilah hari pertama jualan ini relatif kesiangan. Beruntung pasaran lagi ramai, bisa habis juga akhirnya.

Kejadian itu mempengaruhi banyak sikap dan pikiranku di kemudian hari. Aku sering kritis atas keadilan ekonomi. Cukup baperan jika ada yang asal berpendapat (tanpa spesifikasi kasus) bahwa orang-orang itu dibayar murah karena tidak memiliki keterampilan, atau karena malas. Berlalu lintas pun di jogja dahulu, aku mengutamakan para pengendara sepeda berkeronjot itu, yang dagangannya macam-macam.

Pengalaman berdagang hari-hari berikutnya mengajarkan satu hal penting lagi. Bahwa pekerjaan para usaha mikro itu memiliki tingkat risiko yang luar biasa besar, mudah rugi karena berbagai sebab yang terduga. Untuk bisa bertahan saja, dibutuhkan sikap mental yang kuat. Lebih tepat jika disebut bermental hebat.

Ketika aku kini lebih menekuni pekerjaan sebagai ekonom jalanan, maka pandanganku jelas dan tegas. Para pelaku usaha mikro itu pada umumnya rajin, terampil, dan bermental bagus. Jika hingga kini masih saja “dibayar” murah oleh sistem perekonomian kita, maka ada yang tidak benar dalam sistem ini. Ada eksploitasi, dan ada penindasan.

Kewajiban berjuang untuk memperbaikinya ada pada kita semua. Kita yang peduli dan berharap tegaknya keadilan ekonomi di bumi tercinta ini. Kita yang masih yakin pada cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia.

*Ekonom

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  63  =  68