Opini

Deradikalisasi Pancasila

Oleh: Soffa Ihsan

Channel9.id – Jakarta. Hingga kini, ancaman radikalisasme dan terorisme masih terus menjadi ancaman global. Perlawanan menghadapi terorisme sudah memasuki kawasan yang lebih substantif. Ia tidak semata konflik fisik, tapi sudah memasuki kawasan konflik gagasan atau adu kekuatan untuk merebut hati dan pikiran.

Paradigma perang masa kini telah berubah menjadi peran nonteritorial. Obyek perang bukan lagi negara, tapi otak manusia. Subyek perang bukan lagi tentara, tapi segenap kekuatan semesta masing-masing pihak, baik berwujud negara yang berdaulat ataupun jaringan nasional, bahkan supranasional. Metode perang bukan lagi mengandalkan daya tembak, daya gerak dan daya tempur, yang dibatasi oleh berbagai konvensi internasional, tetapi telah berubah menjadi pemusnahan massal tanpa batas apapun.

Perang melawan terorisme adalah perang melawan sebuah konsep yang tidak berteritori dan tidak beraturan hukum apapun. Perang nonkonvensional memerlukan perang nonkonvensional pula. Ancaman terhadap keamanan nasional mengambil bentuk yang tak terbayangkan sebelumnya (AM Hendropriyono, 2014) Benar, terorisme adalah perang merebut hati dan pikiran.

Baca juga: Ketua MPR Minta Pemerintah Evaluasi Program Deradikalisasi

Perang masa kini tidak lagi berjeda dan sekaligus produktif. Kita sesungguhnya sedang berperang setiap hari. Semua perang itu alih-alih menghancurkan, justru menciptakan konsep-konsep baru. Perang terhadap terorisme misalnya, melahirkan konsep-konsep seperti ‘Deradikalisasi’, ‘Jihad Literasi’ ‘Moderasi Beragama’ dan sebagainya. Disitulah peran wacana bermain. Penggalangan sejatinya adalah upaya menggantikan monopoli pemaknaan yang berpotensi teror, dengan konsep yang justru dapat menciptakan kedamaian. Konsep dan aksi ‘jihad literasi’ misalnya yang dilakukan oleh komunitas Rumah Daulat Buku (Rudalku) telah menggeser pemaknaan jihad sebagai kekerasan dan bom bunuh diri.

Tak disangkal, deradikalisasi adalah penggalangan cerdas yang dilakukan dengan tujuan untuk menghapus pemahaman dan pemikiran yang keliru akibat braind washed atau cuci otak terhadap mereka sebelumnya, yang dilakukan oleh organisasi teroris. Dan deradikalisasi pemahaman merupakan solusi efektif dibandingkan semata menggunakan hard power. Bahkan pula melebihi dari sekedar upaya disengagement yang hanya seolah ‘meninabobokkan’ untuk sementara mantan teroris agar tidak kembali ke jalan kekerasan.

Permufakatan Bersama

Ketika sebuah negara-bangsa terbentuk, maka individu meleburkan diri, bahkan kelompok masyarakat dan komunitas yang berlatar belakang kepentingan, etnis maupun agama bergabung dalam sebuah “bangunan nilai besar atau Supreme Value“ yang bernama negara-bangsa dalam sebuah konsep menyeluruh yang harmonis dalam kehidupan bersama. Manusia sebagai makhluk sosial berkumpul dalam sebuah kelompok yang sangat besar, maka lahirlah sebuah raksasa kepribadian baru yang tidak lagi bersifat egoistik perorangan maupun kelompok kemudian membentuk sebuah moralitas bersama. Negara-bangsa yang ternyata sanggup menampung begitu banyak jenis pelayanan masyarakat menghasilkan kesepakatan baru berisi keyakinan politik dan nilai moral bersama ideologi nasional, yang lahir dari sebuah kontrak sosial mengisi sebuah “Ideal State“.

Permufakatan untuk hidup bersama dalam sebuah negara membutuhkan kekuatan ikatan, yaitu idiologi, agar mampu menyatukan cara pandang semua unsur yang hidup di suatu negara tersebut. Dengan itu, maka ketertiban sosial serta minimalisasi kekerasan akan terwujud.

Ideologi menjadi suatu yang sangat penting dan vital bagi kelangsungan hidup suatu kelompok atau sebuah bangsa. Hal itu disebabkan ideologi memberikan kejelasan identitas nasional, member inspirasi akan cita-cita dan pendorong dalam tujuan masyarakatnya. Dengan Ideologi yang jelas, suatu negara akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana mengenal dan memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam yang timbul dalam gerak masyarakat yang makin maju.

Maraknya konflik, kekerasan dan terorisme juga menandakan bahwasannya nilai-nilai kebhinnekaan di negeri ini mulai memudar. Muncul pertanyaan mengenai klaim negeri ini sebagai negeri majemuk dibawah naungan filsafat Pancasila, bagaimana Pancasila berfungsi atau malah kehilangan fungsinya? Padahal filsafat Pancasila merupakan kecerdasan lokal yang digali dari kebijakan lokal masyarakat bangsanya sendiri yang menjamin rasa kerukunan beragama dan keguyuban antar suku, ras dan kelompok aliran, nasionalisme bangsa Indonesia yang besar ini adalah perikemanusiaan, sehingga tanpa diskriminasi nurani bangsa Indonesia menolak semua pelanggaran terhadap sila kemanusiaan yang adil dan beradab.

Bangsa Indonesia tengah limbung dan berjalan tanpa arah karena meninggalkan warisan nenek moyang dan founding fathers-nya yang paling berharga, yaitu Pancasila. Pasalnya, Pancasila adalah penjelmaan falsafah bangsa Indonesia yang paling realistis karena berpijak pada proses perjalanan sejarah pembentukan nusantara itu sendiri. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang melimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban.

Masyarakat Indonesia yang majemuk memiliki watak dasar non-komplementer, artinya sulit bersatu secara utuh dan rawan konflik karena keragaman agama, ras, suku bangsa, golongan, dan lain-lain. Dalam perspektif fungsionalisme, ketika masyarakat majemuk tersebut bersatu, maka hal itu terjadi karena ada faktor pengikat yang menjadi konsensus bersama. Pancasila dipandang sebagai konsensus nasional yang berfungsi menjadi faktor pengkat yang menyatukan keragaman ke dalam kesatuan (Bhineka Tunggal Ika).

Pancasila seharusnya jelas berposisi pula sebagai wajah nasionalisme Indonesia. Bila kita menelusuri perjalanan sejarah penyusunan Pancasila yang melalui proses panjang dan relative pelik. Utamanya soal penempatan prinsip kebangsaan Indonesia pada urutan pertama rumusan Pancasila. Meski kemudian rumusan ini mengalami perubahan. Dengan prinsip kebangsaan—mencuplik Tan Swie Ling (2014)—akan menjadi dasar yang paling baik bagi Negara Indonesia merdeka. Kebangsaan adalah wujud konkrit dari idealisme ketertindasan atau keterjajahan masyarakat Indonesia selama berates-ratus tahun. Pancasila diibaratkan sebagai obor yang menerangi langkah perjalanan bangsa. Faktanya, perjalanan Pancasila banyak menghadapi batu sandungan.

Menyadari relevansi dan aktualitas visi Pancasila dalam mengantisipasi tantangan di era globalisasi, demokratisasi dan HAM, terasa perlu melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai kerangka konsepsional penegakkan HAM dalam konteks negara bangsa. Dalam kaitan ini, perlu disadari bahwa sila-sila Pancasila secara keseluruhan maupun sendiri-sendiri tidaklah bertentangan, bahkan mendukung prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Pancasila dapat dikatakan sebagai prinsip kontekstualisasi HAM dalam kenyataan Indonesia sebagai bangsa multikultural dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang tajam. Dihadapkan pada realitas seperti itu, negara ingin memenuhi HAM dengan mengembangkan dua prinsip pokok: negara kekeluargaan dan negara keadilan (walfare state).

Negara kekeluargaan adalah negara yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Negara keadilan (kesejahteraan) mengandung arti bahwa peran negara bukan hanya sebagai ‘penjaga malam’, melainkan memainkan peran aktif dalam usaha menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan sosial, melalui penguasaan, regulasi, fasilitasi, dan penyediaan akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Perpaduan antara negara kekeluargaan dan negara keadilan itu dilukiskan dalam pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam ungkapan: “Negara”—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dengan basis konsepsi kenegaraan seperti itu, Pancasila mampu mengantisipsi berbagai tantangan global dalam perlindungan HAM. Dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme agama, sila pertama menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban.

Dengan semangat dasar kelima prinsip Pancasila, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan.

Kita merasakan, saat ini negeri kita bagai ‘pasar bebas’ idiologi. Semua idiologi seolah tumbuh mekar di negeri Pancasila ini. Dari idiologi kiri hingga kanan mulai tumbuh memekarkan cara pandangnya masing-masing demi tujuan ‘terselubung’ yang bisa menggoyahkan tatanan kenegaraan dan kenyamanan masyarakat. Untuk meningkatkan kesadaran dan menyelesaikan masalah kebangsaan yang banyak ditemui belakangan ini, maka bangsa Indonesia harus mengembalikan Pancasila sebagai arus utama ideologi bangsa.

Penguatan Kebudayaan

Adalah wajar apabila satu bangsa berdasarkan kebudayaannya berusaha membangun peradabannya sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1992), kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil karyanya. Demikianlah, pada dasarnya, kebudayaan adalah pola berpikir dan berbuat yang terjadi dalam kehidupan satu bangsa dan yang membedakannya dari kelompok atau bangsa lain. Pancasila bukan hanya sebagai falsafah, ideologi dan dasar negara, namun juga sebagai sebuah konsep kebudayaan dan peradaban bagi bangsa Indonesia.

Budaya mempunyai peran yang sangat mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena hakekatnya, budaya tidak dapat dipisahkan dengan individu manusia sebagai mahluk sosial, yang membangun sikap akal budi. Budaya yang terbentuk menjadi karakter manusia atau masyarakat sebuah bangsa, menjadi modal sebuah peradaban manusia diberbagai bidang termasuk sosial, ekonomi, budaya, politik dan ilmu pengetahuan.

Konsep peradaban Pancasila di sini artinya adalah bahwa seluruh nilai-nilai dan tatanan yang ada dalam manusia Indonesia didasari oleh Pancasila dari sila pertama sampai sila ke lima. Kita tahu Pancasila punya 45 butir nilai-nilai Pancasila yang diambil dari segala aspek kehidupan manusia Indonesia sehingga mendasari langkah kita dalam menapaki kehidupan. Karena menjadi inti dari semua nilai yang tumbuh, maka dia akan menyertai seluruh proses pertumbuhan dari sebuah bangsa sejak merdeka sampai menjadi besar.

Membangun peradaban nasional berdasarkan Pancasila adalah proses pembangunan yang bertujuan untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera yang bertumpu pada prinsip atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: Pertama, berdaulat dalam bidang politik; Kedua, berdiri di atas kaki sendiri dalam bidang ekonomi, Ketiga, berkepribadian dalam bidang kebudayaan; dan Keempat, berasaskan gotong royong. Pembangunan berdasarkan Pancasila bersifat menyeluruh tidak hanya sebatas pembangunan fisik saja seperti pembangunan infrastruktur, jalan raya, bandara, pelabuhan, bendungan dan lain sebagainya. Akan tetapi, pembangunan yang bersifat non fisik juga dilakukan seperti pembangunan sumberdaya manusia, pembangunan bidang pendidikan, bidang kebudayaan dan lain sebagainya. Hal yang tidak kalah pentingnya seperti pembangunan karakter dan mental bagi seluruh rakyat Indonesia. Keberhasilan dalam membangun peradaban berdasarkan Pancasila juga mencakup pada keberhasilan dalam membangun nilai-nilai kebudayaan.

Penguatan Kemanusiaan

Dalam refleksi filsafat manusia kita akan menemukan manusia sebagai pribadi adalah makhluk yang transendental, otonom, bebas dan relasional. Dengan sifat transendentalnya, manusia mampu mengatasi diri sekaligus mengambil bagian dalam sifat keilahian. Hidup manusia tertuju pada sesuatu yang mengatasi dirinya. Dengan sifat otonomnya, manusia mampu memilih mana yang baik dan mana yang buruk, serta mengambil keputusan terhadap tindakan. Dengan sifat realasionalnya, manusia diharuskan untuk berhubungan dengan sesama dan dunianya. Secara pribadi, manusia bukan konsep yang abstrak. Ia adalah makhluk yang konkret. Realitas manusia sebagai pribadi terungkap dalam elemen-elemen seperti karakter, akal budi, suara hati, nama dan perasaan, serta kebebasan. Karena itulah semua elemen ini sangat personal. Menghargai elemen ini berarti menghargai nilai-nilai kepersonalan manusia (Kasding Sihotang, 2010).

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu bertanya. Manusia mempertanyakan dirinya, keberadaannya, dan dunianya. Pertanyaan siapa manusia menjadi tema sentral dalam kajian filsafat manusia. Pertanyaan sudah lahir sejak jaman Yunani klasik, jauh sebelum Socrates menjawabnya dalam masa hidupnya. Para filsuf pra-Sokratik berpendapat bahwa manusia menyatakan dirinya ketika ia bertindak sesuai dengan aturan-aturan alam. Pada abad pertengahan, pertanyaan ihwal manusia juga menjadi persoalan mendasar para filsuf. Sementara di abad modern, perspektif antroposentrisme digunakan untuk menjawab persoalan ini.

Yang dituju dari gagasan kemanusiaan ini juga tidak terbatas pada pemenuhan kesejahteraan yang bersifat ekonomis, tetapi juga terkait dengan pemuliaan martabat manusia, pemupukan solidaritas bangsa, dan penguatan kedaulatan rakyat.

Perwujudan keadilan tersebut tidak seharusnya hanya didasarkan pada asas hak dan legal-formal saja, tetapi harus juga dibarengi oleh rasa kasih sayang, yaitu kemanusiaan. Inilah yang disebut upaya untuk mewujudkan keadilan sosial di semua level, harus dilandasi oleh rasa kasih sayang yang tulus yang merupakan landasan bagi semangat gotong royong tersebut.

Menyitir Yudi Latif dalam Mata Air Keteladanan (2014), Pancasila bukan sekedar jargon yang diucapkan secara murni dan konsekuen di penataran atau seminar. Lebih dari itu, Pancasila adalah pegangan etis dalam perbuatan kita sehari-hari. Pancasila harus turun dari sekedar pengetahuan menjadi perbuatan.

Idiologi merupakan cerminan superstruktur, dan kemudian perlu diturunkan dan ditopang melalui penguatan infrastruktur dibidang politik, pendidikan, pengembangan SDM, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan begitu, idiologi Pancasila yang mengayomi semua keragaman yang ada di negeri kita akan menjadi benteng kokoh serta pertahanan dari segala ancaman radikalisme dalam berbagai wajahnya.

Nah, akhirnya, perlu selalu digaungkan bahwa fakta radikalisme yang ada di Indonesia perlu disikapi sebagai wake up call yang menyadarkan seluruh komponen bangsa untuk melakukan konsolidasi diri dengan usaha-usaha early warning system, pembinaan semua komponen masyarakat yang lebih efektif serta kerjasama kebangsaan yang lebih kokoh. Gerakan radikalisme nyata eksistensinya, dan dapat mengganggu stabilitas nasional dan NKRI. Untuk itu, deradikalisasi melalui nilai-nilai Pancasila sudah menjadi keharusan diwujudkan berseiring dengan kebijakan tegas dari pemerintah.

Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3  +  1  =