Oleh: Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS.
Channel9.id – Jakarta. Dalam dunia medis dikenal suatu penyakit yang biasa disebut “delusi megalomania”. Ini salah satu jenis penyakit kejiwaan pada orang tertentu, umumnya pada pemangku kekuasaan di berbagai organisasi atau institusi pemerintah maupun swasta pada setiap level. Mewaspadai keberadaan pemimpin yang mengidap penyakit ini adalah keniscayaan karena penyakit ini memiliki daya rusak cukup tinggi bagi orang sekitar.
Pada sebuah portal kesehatan, Dessy Diniyanti (2020) mengatakan – setelah melalui tinjauan seorang dokter, Anandika Pawitri – megalomania (delusions of grandeur) adalah gangguan kejiwaan yang berhubungan dengan kekuasaan. Penderitanya tidak dapat membedakan antara apa yang nyata dan tidak sehingga membuatnya merasa memiliki kekuasaan dan sulit untuk berpikir secara kritis.
Megalomania adalah penyakit mental yang membuat si penderita merasa haus kekuasaan (thirsty of power). Penyakit ini merupakan gangguan mental yang serius. Pemimpin yang mengidap penyakit ini menganggap dirinya memiliki kekuasaan, kecerdasan, dan kekayaan yang tidak sesuai dengan keadaannya. Efek domino tingkat pertama dari si penderita yakni menyalah-gunakan kekuasaan (abuse of power) yang ada di tangannya itu.
Karena itu, pola prilaku si penderita biasanya cenderung membenarkan diri sendiri, egosentris dan tidak tahan stress. Sehingga dalam proses manajemen kepemimpinan organisasi atau institusi tidak ada yang berani menegur/mengoreksi jika terdapat kesalahan yang dilakukan olehnya. Si penderita umumnya bertindak semaunya sendiri, tidak suka dikontrol oleh pihak lain. Orang-orang di sekelilingnya menjadi enggan mengingatkan. Jika ada kritik terhadap dirinya (si penderita) maka biasanya sering berbuah menjadi konflik karena sifat si penderita yang suka melawan, lalu menyerang tanpa kendali terhadap siapapun di sekelilingnya.
Karena si penderita tidak dapat membedakan antara apa yang nyata dan tidak nyata, maka sering membuat ia membesar-besarkan suatu kejadian, dan sering kali menganggap tinggi dirinya sendiri. Contoh yang diungkap oleh Diniyanti, si penderita delusions of grandeur akan menganggap dirinya sosok yang kaya raya, seorang penemu yang hebat, atau artis terkenal. Dapat dikatakan bahwa megalomania adalah penyakit seseorang yang self-centered atau selalu memprioritaskan diri mereka dan menganggap rendah orang di sekelilingnya yang mengarah kepada eksploitasi.
Penyakit kejiwaan ini jika diidap oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi atau institusi, biasanya membuat si penderita merasa memiliki suatu bentuk fantasi tentang kekuatan, kekayaan dan kemaha-besaran di dalam dirinya. Penyakit ini diderita seseorang karena disebabkan oleh pribadi yang berwatak ambisius serta obsesi hidupnya akan suatu kebesaran dan kemuliaan, baik itu dalam pemikiran atau perbuatan namun tidak tercapai.
Para pengidap delusi megalomania seperti yang dialami oleh beberapa pemimpin dunia, memiliki kecenderungan mempertahankan keyakinannya walau hal itu telah terbukti bertolak belakang dengan kenyataan. Tujuan mereka adalah memenuhi hasrat ambisiusitas atau obsesi berlebihan mereka dalam bentuk fantasi tadi.
Pada taraf kritis, delusi megalomania dapat membahayakan si penderita yang disebabkan oleh keyakinan dirinya yang merasa super mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh kebanyakan manusia biasa yang normal.
Menurut Sigmund Freud, delusi megalomania adalah jenis penyakit yang timbul akibat dari sebuah “narsisisme kedua” yang muncul pada seseorang yang mengidap penyakit mental akut. Berbeda dari “narsisisme utama” yang biasa muncul pada bentuk narsistis kebanyakan. Narsistis kedua ini bersifat patologis karena mengarahkan pada skizofrenia dengan jalan mendorong harapan dan impian dari belakang libido sehingga terpisah dari obyeknya di dunia nyata dan pada akhirnya menghasilkan megalomania.
Narsisisme kedua yang ada pada bentuk penyakit mental ini, menurut Freud, berbentuk membesar-besarkan diri sendiri yang merupakan hasil dari manifestasi ekstrem dari narsisisme utama yang biasa terdapat dalam diri setiap individu.
Dari pendapat Freud di atas, dapat kita fahami bahwa akar dari delusi megalomania adalah sifat narsistik akut yang sakit pada jiwa seseorang, si penderita memiliki keyakinan diri yang dibesar-besarkan, berbentuk delusi atau paham yang diyakini secara absolut oleh dirinya sendiri. Dalam setiap performanya si penderita seringkali tampak tebal muka (no shame), tanpa mempertimbangkan kemungkinan adanya berbagai kesan atau citra buruk tentang dirinya pada orang lain.
Sikap tidak mau menerima kritik walau salah sekalipun, dan tetap percaya terhadap apa yang sebenarnya telah terbukti salah adalah sifat dari kepribadian orang yang mengidap penyakit ini. Walau kecenderungan irasionalitas merupakan kenyataan, namun jika keadaan ini ada pada seseorang pemimpin yang memiliki pengaruh dalam kehidupan sosial/politik, maka resikonya sangat berbahaya karena pasti menimbulkan masalah besar, antara lain, pertama, watak kepemimpinan ini akan memberikan pengaruh peniruan (imitation) yang buruk pada orang-orang yang ia pimpin atau lingkungan sekitar.
Dua ahli psikologi, Neil Miller dan John Dollard (1941) mengatakan, peniruan (imitation) merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari orang lain. Proses belajar tersebut dinamakan social learning (pembelajaran sosial) yakni sebagai pengaruh permanen atas perilaku, pengetahuan, dan keterampilan berpikir, yang diperoleh melalui pengalaman. Cakupan belajar itu luas, tidak hanya belajar melibatkan perilaku akademik saja melainkan non-akademik juga. Albert Bandura (1986) menyatakan, belajar itu didasarkan dengan proses mental yang ia kembangkan melalui teori belajar sosial (social learning theory) dan teori belajar sosial kognitif (cognitive social learning theory). Asumsi kedua teori ini memiliki benang merah untuk menjadi pisau analisis dalam menelusuri kemungkinan adanya akibat buruk atas kekuasaan itu.
Menyangkut peniruan manusia atas pengalamannya, dapat dibongkar melalui tesis Tarde (1903) dengan teori peniruan (imitation theory). Asumsinya, manusia cenderung untuk meniru perbuatan orang lain, semata-mata karena hal itu merupakan bagian dari sifat biologis mereka untuk melakukan hal tersebut. Semua orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menandingi (menyamai atau melebihi) tindakan di sekitarnya. Imitasi memainkan peranan yang sentral dalam transmisi kebudayaan dan pengetahuan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya. Karena itu, efek domino tingkat kedua dari kekuasaan buruk ini adalah bisa merusak kebudayaan masyarakat lebih luas sebagai bagian relasi kekuasaan.
Artinya, kita bisa memperkirakan apa yang mungkin terjadi sebagai resiko buruk apabila suatu bentuk kekuasaan jika dilandasi oleh keputusan megalomania dari para pemimpin yang mengidap penyakit ini. Apapun itu, suatu bentuk kekuasaan adalah pengetahuan bagi orang lain sebagai cognitive effect (efek pengetahuan). Ini menunjukkan ada relasi kekuasaan antara si penderita dengan pengikut. Sebagaimana logika seorang sosiolog Francis, Paul Michel.Foucault dalam teori relasi kuasa, bahwa kekuasaan tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan dan pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan. Cognitive effect (efek pengetahuan) yang buruk itu kemudian bisa berkembang ke bentuk efek buruk yang lain yakni affective effect (efek perubahan sikap) dan bahkan sampai ke conative effect (efek tindakan/prilaku) sebagai efek domino tingkat yang lain. Sehingga eskalasi pengetahuan buruk tentang kekuasaan yang buruk pula akhirnya semakin sulit dihindari di tengah masyarakat.
Dalam kontek relasi kuasa, tidak mungkin pengetahuan itu netral dan murni. Kekuasaan yang buruk akan menularkan pengetahuan buruk dalam konteks waktu dan lingkungan yang sama dan juga berbeda. Karena bagi Foucault, kekuasaan bukan sesuatu yang diraih lalu berhenti, melainkan dijalankan dalam berbagai relasi dan terus bergerak. Kekuasaan tidak dipahami sebagai sebuah kepemilikan layaknya properti atau posisi, melainkan dipahami sebagai sebuah strategi dalam masyarakat yang melibatkan relasi-relasi yang beragam.
Yang pasti kondisi mental kekuasaan buruk akan mengarahkan roda organisasi atau institusi menuju kehancuran, baik cepat atau lambat. Karena keputusan yang diambil bertujuan hanya untuk memenuhi hasrat kebesaran yang dimiliki oleh sang pemimpin megalomania itu tidak berpihak kepada para pengikut, bahkan sama sekali tidak berdasarkan pada realitas sosial di sekitarnya. Organisasi atau institusi apapun, skala besar/kecil, di level daerah/negara pada akhirnya akan mengalami komplikasi, kemudian hancur, atau minimal menjadi semacam menara gading yang cukup hanya bisa dibanggakan tanpa manfaat.
Sebagai akhir, jika “delusi megalomania” diketahui sebagai suatu kondisi buruk dalam kekuasaan suatu organisasi atau institusi, maka Foucault telah berpesan, dalam masyarakat modern, bentuk kekuasaan bukanlah sovereign power melainkan disciplinary power. Disciplinary power bukan konsep kekuasaan berdasarkan otoritas untuk melakukan penghukuman dan kontrol secara represif seperti dalam sovereign power, melainkan bekerja untuk menormalisasi kelakuan di berbagai relasi sosial.
Proses normalisasi ini akan diendapkan dan diinternalisasikan melalui proses pembiasaan dalam tubuh untuk kemudian memengaruhi sikap dan perilaku subjek, sehingga posisi subjek ketika telah dinormalisasi adalah sebagai kendaraan bagi kekuasaan (vehicle of power). Dengan demikian, mungkin kekuasaan itu akan memiliki manfaat yang lebih baik bagi pengikut dan lingkungan yang lebih luas. Sekian.
Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik P2CS.