Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo menjadi momentum penting untuk membaca arah baru kebijakan publik Indonesia. Dalam satu tahun pertama ini, pemerintah menghadapi ujian besar: bagaimana janji politik diterjemahkan menjadi hasil konkret yang dirasakan rakyat, bukan sekadar narasi pembangunan yang megah di atas kertas.
Evaluasi yang dilakukan sejumlah lembaga menunjukkan adanya jarak antara janji dan kinerja. Sebagian besar responden menilai bahwa pelaksanaan program strategis belum optimal. Komunikasi kebijakan yang belum solid dan koordinasi lintas sektor yang sering tersendat memperlihatkan bahwa tantangan terbesar pemerintah bukan semata pada ide, tetapi pada eksekusi dan konsistensi kebijakan.
Kritik terhadap pendekatan pemerintahan yang dianggap sentralistik dan terlalu militeristik seharusnya dibaca bukan sebagai perlawanan, melainkan sebagai peringatan dini. Demokrasi yang sehat tumbuh justru ketika kritik mendapat ruang, bukan ketika dikubur di balik euforia pencapaian. DNIKS memandang kritik ini sebagai vitamin demokrasi — asupan yang diperlukan agar tubuh pemerintahan tetap sehat, adaptif, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Namun, tidak dapat diabaikan bahwa di tengah kritik, sejumlah capaian penting telah diraih. Peningkatan di sektor infrastruktur, pendidikan dasar, serta pembangunan sosial dan keagamaan menunjukkan fondasi yang mulai kokoh. Para teknokrat di beberapa kementerian — seperti Rachmad Pambudi, Agus Harimurti Yudhoyono, Abdul Mu’ti, Syaifulah Yusuf, dan Nasaruddin Umar — memperlihatkan konsistensi dan disiplin kebijakan yang menumbuhkan harapan akan stabilisasi jangka menengah.
Di bidang fiskal, kiprah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjadi catatan positif tersendiri. Langkah-langkah reformasi yang diambilnya berhasil memulihkan kepercayaan publik dan dunia usaha. Begitu pula dengan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, yang membuka jalan bagi perdagangan karbon global melalui kesepakatan dengan lembaga internasional seperti VERRA, Gold Standard, dan Puro Earth — langkah progresif menuju ekonomi hijau yang berdaya saing.
Meski begitu, pemerintah tetap perlu menegakkan keseimbangan antara ambisi dan partisipasi. Reorientasi kebijakan harus diarahkan kembali pada efektivitas sosial dan ekonomi kerakyatan. Koordinasi antar-kementerian harus dibenahi agar kebijakan tidak sektoral, sementara komunikasi publik mesti berbasis data dan capaian nyata — bukan sekadar retorika. Reformasi fiskal dan sosial perlu lebih terbuka terhadap partisipasi masyarakat, termasuk dalam transparansi bantuan langsung dan akuntabilitas hukum.
Evaluasi ini tidak bisa dilihat sebagai cermin kegagalan. Ia adalah kesempatan untuk menata ulang arah, memperkuat legitimasi sosial, dan memulihkan kepercayaan publik. Pemerintahan yang tangguh bukan yang tak pernah dikritik, melainkan yang berani mendengar dan menyesuaikan langkahnya demi kesejahteraan rakyat.
Momentum reorientasi ini harus menjadi titik balik dari kebijakan yang reaktif menjadi kebijakan yang reflektif; dari kekuasaan yang terpusat menjadi kepemimpinan yang partisipatif. DNIKS mendorong agar arah pembangunan ke depan menempatkan kesejahteraan sosial, keadilan, dan keberlanjutan lingkungan sebagai inti kebijakan nasional.
Karena sejatinya, kemajuan bangsa bukan diukur dari seberapa cepat kita berlari, tetapi dari seberapa inklusif kita bergerak bersama.
*Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS)
Baca juga: Prabowo dan Two-State Solution