Channel9.id-Jakarta. Frances Haugen, pelapor di balik kebocoran cache dokumen Facebook ke Wall Street Journal, akhirnya muncul ke depan publik melalui “60 Minutes” pada Minggu, 3 Oktober 2021. Ia membeberkan lebih banyak tentang cara kerja platform Facebook, selaku media sosial paling kuat di dunia. Ia mengatakan bahwa Facebook berkomitmen pada pengoptimalan produk, sehingga merangkul algoritme yang memperkuat ujaran kebencian.
“Facebok membayar keuntungannya dengan keselamatan kita,” ujar Haugen kepada pembawa acara “60 Minutes” Scott Pelley, dikutip dari The Verge (4/10).
Baca juga: Kini Kreator Bisa Membuat Reels di Facebook
Untuk diketahui, menurut catatan The Verge, Haugen merupakan manajer produk di Facebook yang ditugaskan ke grup Civic Integrity. Dia kemudian memilih untuk meninggalkan perusahaan pada 2021 setelah grup tersebut dibubatkan. Dia mengaku tak percaya bahwa mereka bersedia menginvestasikan apa yang seharusnya diinvestasikan, guna menjaga agar Facebook tidak berbahaya.
Ia kemudian membocorkan cache penelitian internal ke Security and Exchange Commission (SEC), dengan harapan bisa mendorong regulasi perusahaan yang lebih baik. Dia mencatat bahwa dia telah bekerja di sejumlah perusahaan, termasuk Google dan Pinterest. Namun, menurutnya, jauh lebih buruk di Facebook. Sebab Facebook menempatkan keuntungannya di atas kesejahteraan penggunanya.
“Ada konflik… antara apa yang baik untuk publik dan apa yang baik untuk Facebook,” kata Haugen kepada Pelley. “Dan Facebook berulang kali memilih untuk mengoptimalkan kepentingannya sendiri— seperti menghasilkan lebih banyak uang.”
Sementara itu, perusahaan berulang kali mengklaim mencoba menghentikan ujaran kebencian—setidaknya pada produknya sendiri.
Ada satu dokumen internal Facebook yang dibocorkan oleh Haugen. Di situ, Facebook mengatakan, “Kami memperkirakan bahwa kami menindak paling sedikit 3-5% kebencian dan ~0,6% V&I [Violence and Incitement/Kekerasan dan Penghasutan] di Facebook, kendati menjadi yang terbaik di dunia dalam hal itu.”
Dokumen lain bahkan lebih blak-blakan. “Kami memiliki bukti dari berbagai sumber bahwa ujaran kebencian, pidato politik yang memecah belah, dan informasi yang salah di Facebook serta anak perusahaannya memengaruhi masyarakat di seluruh dunia.”
Berangkat dari hal itu, Haugen mengklaim bahwa akar masalahnya adalah algoritme yang diluncurkan pada 2018, yang mengatur apa yang pengguna lihat di platform. Menurutnya, mereka dimaksudkan untuk mendorong engagement, dan perusahaan telah menemukan bahwa engagement terbaik adalah jenis menanamkan rasa takut dan benci pada pengguna. “Lebih mudah mendorong orang untuk marah daripada emosi lainnya,” kata Hagen.
Pada saat itu, Mark Zuckerberg mempresentasikan perubahan algoritme yang positif. “Kami merasa bertanggung jawab untuk memastikan layanan kami tak hanya menyenangkan untuk digunakan, tetapi juga baik untuk kesejahteraan masyarakat.”
Namun, menurut laporan Wall Street Journal tentang kekhawatiran Haugen, hasilnya ialah perubahan algoritme yang tajam, yang mengarah pada kemarahan dan kebencian. “Informasi yang salah, toksisitas, dan konten kekerasan sangat lazim dibagikan ulang oleh pengguna,” ungkap salah satu memo internal yang dikutip oleh Journal, menilai dampak dari perubahan tersebut.
The Wall Street Journal mulai menerbitkan temuannya dari cache dengan nama “The Facebook Files” pada September. Satu laporan yang menuduh Facebook memiliki penelitian yang membuktikan Instagram merugikan gadis remaja, mengharuskan perusahaan mengikuti sidang Kongres. Menjelang sidang, Facebook berusaha mengubah narasi di unggahan blog, yang merilis dua laporan yang dirujuk dalam pelaporan Journal.
Menjelang laporan “60 Minutes”, Facebook mencoba ‘membelokannya’ dengan cara serupa namun dalam bentuk yang berbeda. Wakil Kepala Urusan Global Facebook Nick Clegg muncul di “Reliable Sources” CNN untuk membela perusahaan pada Minggu sore, beberapa jam sebelum Haugen muncul.
“Saya pikir itu menggelikan,” kata Clegg tentang tuduhan bahwa media sosial bertanggung jawab atas kerusuhan 6 Januari di Capitol, Amerika Serikat (AS). “Saya pikir itu memberi orang kenyamanan palsu untuk berasumsi bahwa harus ada penjelasan teknologi, atau teknis, untuk masalah polarisasi politik di AS.”
Lebih lanjut, Haugen mengakhiri wawancara dengan menyerukan regulasi jejaring sosial secara lebih luas—sesuatu yang diminta Facebook sendiri, namun dalam bentuk yang lebih terbatas. Dia dijadwalkan muncul di hadapan panel Senat Perdagangan pada Selasa, 5 Oktober besok.
(LH)