Nasional

Tak Usah Menyalahkan, Itu Sudah Qodarullah (2)

Oleh: Tim Rumah Daulat Buku (Rudalku)

Channel9.id – Jakarta. Seorang istri tak tahu peran suaminya dalam kasus bom bunuh diri. Ia percaya penangkapan itu sebagai ketentuan Allah. Ia tak menyetujui aksi teror apapun bentuknya.

Antum Jangan Macam-macam

Muslih Afifi Afandi, pria asal Banten kelahiran 1973, dalam kesaksian di persidangan Heri Sundana, rekan pelaku pengeboman, menyatakan kenal dengan pelaku bom Kampung Melayu.

“Bahwa saksi kenal dengan Ahmad Sukri dan Terdakwa (Heri Sundana) karena sama-sama ikut dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh saksi sebagai pengurus Masjid As-Sunnah Cileunyi Wetan, Cileunyi, Bandung Barat,” ujar Muslih Afifi Afandi, sebagaimana dimuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Muslih juga menyatakan, bahwa selain kegiatan pengajian di Masjid As-Sunnah, ia bersama-sama dengan Heri Sundana, Ahmad Sukri dan Ichwan juga pernah melakukan kegiatan, dengan kegiatan olahraga seperti berenang di kolam renang Al-Masum Cileunyi Bandung yang diikuti oleh sekitar 10 orang termasuk Heri, dan kegiatan naik gunung Tampomas di Sumedang yang juga diikuti oleh Heri serta melakukan long march.

Baca juga: Tak Usah Menyalahkan, Itu Sudah Qodarullah (1)

Beberapa bulan sebelum peristiwa terjadi, pada Januari 2017, di depan Masjid As-Sunnah, ketika Muslih hendak wudhu, ia melewati Ahmad Sukri dan Ichwan. Pada saat itu, Ahmad Sukri memberitahukan bahwa dirinya ingin menitipkan anak dan isterinya. Sontak, Muslih menjawab “antum jangan macam-macam”. Pada bulan Februari 2017 di Masjid As-Sunnah, setelah shalat Jumat, Ichwan memberitahukan tentang keinginanannya mencari teman untuk melakukan amaliah (aksi teror).

Pengadilan juga memutus Muslih bersalah dan memvonis dengan pidana penjara tujuh tahun. Atas putusan itu, Muslih pun menjalani masa penahanannya di Nusa Kambangan.

“Iya, divonis tujuh tahun. Tapi, PB (Pembebasan Bersyarat)-nya sudah disetujui,” ujar Rita.

Mengajar dengan “Sajuta”

Meski sang suami menjalani vonis di Nusakambangan, Rita tetap optimis menjalani aktivitas. Bahkan, di sela kesibukannya mengelola dan mengajar anak-anak di TK/TPA Al-Kahfi, ia pun menempuh pendidikan ke jenjang strata satu dengan spesifikasi jurusan Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Jawami.

Di Al-Kahfi sendiri ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak Al-Quran (TKQ), Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ), dan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA). PAUD diperuntukkan bagi anak-anak usia 3 hingga 6 tahun, TKQ untuk anak-anak usia 5 hingga 7 tahun, TPQ untuk anak-anak usia 7 hingga 12 tahun, dan MDT untuk anak-anak usia 8 hingga 12 tahun. Total seluruh siswa yang dididik oleh Rita ada 84 orang, pagi hingga sore.

“Suara saya sampai soak, sampai sore. PAUD dan TK 19 orang, TPA 65,” ujar Rita.

Tapi ia senang dengan aktivitas tersebut, “Kalau tidak ada sekolah (TK/TPA Al-Kahfi) ini, mungkin kerjaan saya hanya melamun.”

Mengelola dan mengajar di TK/TPA Al-Kahfi merupakan amanat orang tua Rita yang ia jalani dengan prinsip “sajuta”, yakni sabar, jujur, dan tawakal. Prinsip itu pula yang ia tularkan ke tiga orang tenaga pendidik yang mengajar bersama Rita.

“Mengajar di Al-Kahfi harus “sajuta” meskipun imbalannya tidak sampai sejuta. Gimana kondisi keuangan, rata-rata 300 ribu per bulan yang rutin untuk menggaji mereka,” ungkap Rita.

Ingin Dirikan Yayasan dan Perpustakaan

Rita ingin mengembangkan sekolah yang ia kelola. Ia telah berencana membuat sebuah yayasan setelah sang suami bebas.

“Kalau suami pulang, saya ingin bikin yayasan,” ujar Rita yang semenjak pandemi Covid-19 belum menjenguk sang suami di Nusakambangan.

Status sekolah Al-Kahfi masih di bawah naungan Yayasan Abu Bakar, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Selain mendirikan yayasan, ia bersama sang suami, yang gemar membaca, sedari dulu berkeinginan membangun perpustakaan. Untuk merealisasikan keinginan itu, Rita merasa membutuhkan kehadiran sang suami.

“Cepet pulang aja lah. Memang berat. Allah yang mengatur,” ujar Rita.

Bak gayung bersambut, tak dinyana sebuah paguyuban literasi datang menyambanginya mengajak bergabung. Rita senang bisa bergabung dengan komunitas literasi Rumah Daulat Buku (Rudalku) yang bermarkas di Jakarta.

“Kalau tidak salah, September 2020, ada tim Rudalku datang ke rumah dan mengajak gabung literasi. Saya respon dengan senang hati dan ini sesuai dengan cita-cita saya sekeluarga untuk bergerak di literasi,” kenang Rita.

Selama bergabung dengan Rudalku sudah beberapa kali mendapatkan bantuan buku-buku baik bacaan untuk anak-anak juga bacaan keislaman yang moderat serta buku-buku ketrampilan. Bahkan Rita pernah dibantu buku untuk menunjang kuliahnya.

“Saya waktu itu minta tolong dikirimi buku-buku untuk kuliah saya. Pengelola Rudalku beberapa waktu kemudian mengirim paket buku yang sesuai permintaan saya dari Jakarta,” cerita Rita dengan berbinar-binar.

Senyampang kini, hanya keteguhan dan kesabaran menjadi modal besar bagi Rita untuk melakoni apa yang sudah menjadi lakonnya. Secara mandiri, Rita bersama anak dan rekannya terus berikhtiar mempertahankan dan mengembangkan lembaga pendidikannya itu. Waktu terus berjalan, suka duka kerap menghilirmudiki di tengah perjuangannya menghidupi anak-anaknya serta mengelola pendidikan sembari menanti bebasnya sang suami.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6  +  2  =