Hot Topic Nasional

P2G Desak Kemenag Buat Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual

Channel9.id – Jakarta. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mendesak Kemenag membuat Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Berbasis Agama. PMA mengatur madrasah, pesantren, seminari, pasraman, dan dhammasekha, serta lembaga pendidikan berbasis agama lainnya.

Pernyataan itu diungkapkan menyusul perbuatan oknum guru salah satu pesantren di kota Bandung, yang memerkosa 12 santriwati di mana delapan di antaranya sampai melahirkan, dan dua orang sedang hamil.

“Regulasi PMA sangat urgen dibuat, mengingat angka kekerasan seksual di satuan pendidikan agama cukup tinggi, P2G menilai Gus Menteri akan cepat tanggap dengan aspirasi ini,” ujar Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G, Jumat 10 Desember 2021.

Baca juga: Guru Perkosa 12 Anak, P2G: Hukuman Maksimal Penjara Seumur Hidup dan Kebiri Kimia

Dalam catatan P2G, kasus kekerasan seksual yang mencuat menjadi perbincangan publik di media pada 2021, terjadi di satuan pendidikan agama baik status formal maupun non formal.

P2G mencatat kasus di 27 kota/kabupaten: Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jatim); Kubu Raya (Kalbar); Lebak dan Tangerang (Banten), Bantul (Yogyakarta), Padang Panjang dan Solok (Sumbar); Aceh Tamiang (Aceh); Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumsel); Bintan (Kepri); Tenggamus, Way Kanan, Tulang Bawang dan Pringsewu (Lampung); Pinrang (Sulsel); Balikpapan (Kaltim); Kotawaringin Barat; Jembrana (Bali); Cianjur dan Garut (Jabar).

Data 27 kabupaten/kota belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate.

Sementara itu Kemdikbudristek sudah melahirkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, aturan yang berlaku bagi sekolah di bawah Kemdikbudristek.

Menurut Satriwan, melalui PMA negara bertanggung jawab mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di satuan pendidikan agama. Madrasah, pesantren, seminari dan guru pengasuh dibekali pemahaman serta keterampilan bagaimana cara mencegah dan menanggulangi jika kekerasan terjadi. Apalagi ada kepercayaan keagamaan tertentu di satuan pendidikan berbasis agama, yang dapat disalahgunakan oleh oknum guru menjadi pintu masuk tindakan kekerasan seksual yang korbannya peserta didik.

“Kita tengah mengalami darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan, lahirnya PMA menjadi bukti negara tidak melakukan pembiaran,” cetus pengajar Pendidikan Kewarganegaraan ini.

Terlebih, karakteristik kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama umumnya dilakukan oleh guru atau pengasuh. Mereka orang dewasa dan berkedudukan sebagai pengajar resmi. Ada pemilik lembaga pendidikan dan juga tenaga pendidik yang direkrut yayasan.

Anggota Dewan Pakar P2G, Rakhmat Hidayat, meminta rekrutmen pengasuh atau guru oleh yayasan harus mempertimbangkan aspek asesmen psikologi, kepribadian, dan sosial. Tidak hanya aspek pedagogi dan profesional.

“Guru seharusnya memiliki kompetensi spiritual, sosial, emosional, dan kepribadian yang baik. Termasuk asesmen potensi perilaku seks menyimpang guru seperti pedofilia,” kata dosen sosiologi pendidikan ini.

Menurutnya Kementerian Agama (Kemenag) hendaknya membuat aturan dan pedoman perekrutan guru atau pengasuh satuan pendidikan keagamaan yang dijadikan rujukan wajib dalam merekrut guru. Berdasarkan fakta di atas, kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama tidak hanya di lembaga formal yang sudah terdaftar, tetapi juga lembaga pendidikan yang belum terdaftar di Kemenag.

Rakhmat memaparkan, satuan pendidikan pesantren di Indonesia mencapai 33.980 pesantren. Satuan pendidikan madrasah sebanyak 83.468. Dan hanya 5 persen madrasah milik pemerintah, statusnya negeri, sementara 95 persen swasta. Data ini belum termasuk pesantren atau madrasah yang belum terdaftar di Kemenag.

“Tingginya kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama karena rendahnya pengawasan dari jajaran Kemenag,” lanjut Rakhmat.

Alumni Perancis ini meminta Kemenag mengkroscek ulang lembaga pendidikan berbasis agama yang belum terdaftar, kemudian didaftarkan resmi. Kemenag dan Kanwil Kemenag daerah wajib melakukan pengawasan sistematis dan berkala terhadap pesantren atau lembaga pendidikan agama yang tidak terdaftar.

HY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  72  =  78