Techno

Virolog Sebut Omicron Sebetulnya Tak Menakutkan 

Channel9.Id-Jakarta. Varian virus COVID-19 Omicron tak lebih berbahaya dari varian Delta. Sementara, varian Delta tak lebih berbahaya dari varian pertama Wuhan. Demikian pungkas virolog Indro Cahyono, belum lama ini.

Ia juga menambahkan bahwa hingga kini Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) belum punya bukti bahwa Omicron lebih berbahaya dari varian apa pun.

“Sementara itu, berbagai media menyebutkan berbagai gejala infeksi Omicron. Sebetulnya, gejala yang disebutkan itu tak spesfik—seperti batuk kering, kelalahan berkeringat di malam hari, dan sebagainya. Kalau kita berpacu pada informasi ini kita akan temukan ribuan penyakit dengan gejala yang sama,” sambungnya.

Oleh karena itu, ia menekankan kepada masyarakat untuk tidak panik karena berbagai informasi yang berseliweran di media massa. Salah satunya, informasi yang menyebutkan bahwa Omicron adalah varian ‘siluman’. Pelabelan ‘siluman’ ini berangkat dari temuan ilmuwan asal Australia, yang mengatakan bahwa Omicron sulit dideteksi oleh alat tes PCR (red: polymerase chain reaction).

“Sebenarnya, yang jadi letak masalahnya itu bukan soal Omicron adalah ‘siluman’ dan menakutkan. Tapi yang jadi masalah itu kit PCR-nya yang tidak bisa mendeteksi virus. Itu saja,” pungkas Indro.

Ia menjelaskan bahwa target tes alat PCR adalah protein spike (S), envelope (E), nukleokapsid (N), dan membrane (M) virus. “Tapi kalau ada perubahan di RBD (red: receptor binding domain)—yang bentuknya seperti crown, kit PCR tidak bisa mendeteksi,” terang Indro.

Indro mengatakan bahwa RBD berubah karena ada perubahan pada RBM (receptor binding motive)—yang selalu berujung pada muncul varian virus baru. RBD, kata dia, hanya 2% dari virus utuh. Adapun RBM lebih kecil dari RBD, yakni 0,2% dari total RBD.

“Kalau varian Omicron sendiri, perubahan RBM-nya cuma 1:1.000 dari total nukleotida seluruh protein S. Makanya, kalau terinfeksi dia, sebenernya gejalanya nggak jauh beda dengan varian yang sebelumnya,” terang Indro. “Perubahan ini tampak sangat kecil, tapi bisa membuat kit PCR nggak bisa mendeteksi protein di RBM.”

Lebih lanjut, Indro mengatakan bahwa agar protein S bisa dibaca, maka kit PCR harus diubah. Ia mengatakan pemerintah bisa belajar dari Jepang yang sudah membuat kit PCR baru, yang fokus pada urutan nukleotida yang berubah di RBM tadi.

Selain itu, juga harus mengubah desain protein untuk vaksin. “Kalau masih pakai yang sama, ya nggak efektif. Jadi ya harus bikin vaksin baru. Tiap ada varian, harus bikin vaksin baru,” pungkasnya.

Kemudian ia juga menekankan agar masyarakat jangan terlalu khawatir karena varian Omicron masih berasal dari virus yang sama, yaitu COVID-19—yang kesembuhannya mencapai 97%. “Jadi, sebenernya kalau ada yang terinfeksi Omicron, nggak perlu terlalu khawatir karena gejalanya nggak lebih ganas dari varian awal Wuhan,” tuturnya.

“Sederhananya gini. Saya punya reseptor dan variani origin akan nempel, lalu bikin sakit parah. Tapi kalau varian ini mengalami perubahan, maka otomatis dia nggak bisa menempel dengan baik karena virus jadi lebih sulit ketika beriplikasi. Nah, sebenernya yang bikin sakit parah varian origin, yang muncul di Wuhan pertama kali. Maka dari itu, varian baru gejalanya nggak separah yang awal, justru makin lemah. Makanya, semakin banyak variannya, maka semakin lemah virusnya karena virusnya sulit bereplikasi,” jelas Indro.

(LH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  62  =  66