Cegah Pandemi di Masa Depan, Jepang Alokasikan Rp30 Triliun untuk Meneliti Vaksin
Techno

Cegah Pandemi di Masa Depan, Jepang Alokasikan Rp30 Triliun untuk Meneliti Vaksin

Channel9.id-Jakarta. Pemerintah Jepang mengalokasikan $2 miliar (sekitar Rp30 triliun) untuk melakukan penelitian vaksin. Menurut Nature, penelitian ini ditujukkan supaya Jepang lebih siap menghadapi pandemi di masa depan.

Diketahui, Jepang tertinggal di belakang negara lain dalam pengembangan vaksin. Di samping itu, Jepang juga cenderung lamban dalam menyetujui vaksin COVID-19. Nature juga menyebutkan bahwa tiga kandidat vaksin COVID-19 paling canggih di Jepang bahkan masih harus menjalani uji klinis. Guna mencegah hal serupa, Jepang mendirikan Pusat Strategis Penelitian dan Pengembangan Vaksin Lanjutan Biomedis untuk Kesiapsiagaan dan Respon (SCARDA) pada Maret lalu.

Pusat penelitian SCARDA berbasis di Tokyo, dan akan didukung oleh empat lembaga inti, yaitu Universitas Osaka, Universitas Nagasaki, Universitas Hokkaido, dan Universitas Chiba.

Adapun pendanaan $2 miliar (sekitar Rp30 triliun) akan digelontorkan secara bertahap dalam lima tahun. Dilansir dari Engadget, sebanyak $1,2 miliar (sekitar Rp18,1 triliun) akan digunakan untuk proyek penelitian dan pengembangan vaksin pusat. Kemudian $400 juta (sekitar Rp6 triliun) untuk mendukung perusahaan rintisan dalam pengembangan obat. Lalu $400 juta (sekitar Rp6 triliun) lainnya akan digunakan untuk mendirikan jaringan pusat penelitian di seluruh negeri, serta untuk pengujian vaksin.

SCARDA awalnya akan fokus pada pengembangan vaksin untuk delapan penyakit menular, termasuk COVID-19, monkeypox, SARS, dengue, dan virus Zika. Para penelitinya juga akan menggunakan berbagai jenis teknologi vaksin, seperti mRNA dan vektor virus.

Pusat tersebut bertujuan untuk “menemukan benih untuk vaksin masa depan.” Namun, tujuan utamanya ialah untuk menyulap tes diagnostik, vaksin, dan perawatan dalam waktu 100 hari setelah identifikasi patogen yang berpotensi menjadi pandemi.

Sebagai informasi, Pemerintah Inggris-lah yang pertama kali mengusulkan 100 hari, berdasarkan apa yang dipelajarinya dari COVID-19. “100 hari pertama ketika menghadapi pandemi atau ancaman epidemi sangat penting untuk mengubah arahnya dan, idealnya, mencegahnya menjadi pandemi,” tulis Inggris dalam laporan kesiapsiagaan pandeminya kepada G7.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tercatat bahwa ada lebih dari 2,5 juta kasus dan 200.000 kematian dalam 100 hari, setelah WHO menyatakan COVID-19 sebagai darurat kesehatan—yang menjadi perhatian internasional. Adapun respons cepat dari awal bisa mencegah kasus itu menjadi lebih tinggi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  17  =  26