Channel9.id – Jakarta. Saksi Ahli bidang pemeriksaan keuangan Dr. Eko Sembodo menyampaikan, tim auditor Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menggunakan metodologi yang tidak umum dalam menghitung kerugian negara proyek pengadaan e-KTP TA 2011-2013.
Auditor BPKP menggunakan dua sumber yang berbeda dalam menghitung harga real satu keping e-KTP. Dua sumber itu yakni harga kontrak awal satu keping e-KTP dari Konsorsium PNRI dan harga satu keping e-KTP setelah dibobot. Seharusnya, auditor hanya perlu menggunakan satu sumber saja untuk menentukan harga real tersebut.
“Auditor tidak menggunakan metodologi yang umum untuk melakukan pemeriksaan perhitungan kerugian negara. Auditor menggunakan dua sumber yang berbeda. Pertama diambil dari catatan yang dibuat PNRI. Kedua diambil dari harga bobot. Jumlahnya jadi berbeda sehingga hasil nilai kerugian negara pun jadi tidak benar,” kata Eko dalam sidang dengan terdakwa eks Dirut PNRI, Isnu Edhi Wijaya, Senin,26 September 2022.
Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Eko menegaskan, kerugian negara wajib nyata dan pasti.
“Kerugian negara harus nyata dan pasti sesuai undang-undang. Nyata itu nilai yang hilang dan kurang. Pasti artinya bisa diucapkan karena jumlahnya jelas. Jadi tidak ragu dalam menghitung angka kerugian,” kata Eko.
Eko menjelaskan, kegiatan pertama yang dilakukan auditor dalam menghitung kerugian negara adalah melakukan identifikasi. Identifikasi dibutuhkan untuk mengetahui apakah ada penyimpangan atau tidak. Identifikasi dilakukan dengan mendapatkan seluruh dokumen. Dokumen itu kemudian diuji atau dikonfirmasi kepada pihak terkait.
“Seluruh dokumen itu harus mulai dari Kerangka Acuan Kerja (KAK), kegiatan rencana, kegiatan pelaksana, sampai barang selesai. Dalam kasus e-KTP ini, dokumen termasuk dokumen kontrak, adendum, surat korespondensi di antara pihak konsorsium dan BPK juga,” kata Eko.
Setelah mempelajari semua dokumen, auditor melakukan analisis. Menurut Eko, analisis dilakukan dengan cara membandingkan masalah yang ditemukan dengan peraturan yang berlaku.
“Tujuannya mencari apakah ada penyimpangan antara kejadian yang ada di dalam dokumen dengan peraturan,” kata Eko.
Adapun, untuk menghitung kerugian negara, auditor wajib menggunakan metodologi. Metodologi itu harus tertulis dan jelas. Jenis-jenis metodologi yang umum digunakan yakni net loss, real cost, dan pendapatan yang harus diterima.
Namun, Auditor BPKP tidak menggunakan metodelogi yang umum dalam menghitung kerugian negara dalam proyek e-KTP. Auditor menggunakan dua sumber yang berbeda dalam menentukan harga real per keping blanko e-KTP. Seharusnya, auditor menggunakan satu sumber saja.
“Hal ini membuat terjadi penyimpangan dalam membuktikan harga kontrak,” kata Eko.
Eko menjelaskan, dalam proyek e-KTP, Konsorsium PNRI sebagai pemenang tender menentukan harga awal blanko sebesar Rp16.000 per keping. Harga itu dibagi menjadi tiga pekerjaan yakni Rp12.000 (pekerjaan cetak blanko), sekitar Rp3.800 (pekerjaan personalisasi), dan Rp200 (pekerjaan distribusi).
Untuk mencegah kerugian di kemudian hari, Kementerian Dalam Negeri dan Konsorsium membuat kesepakatan untuk melakukan bobot harga. Dalam hal ini, pembayaran dilakukan pembobotan menjadi lebih besar ke pekerjaan tahap akhir.
“Maksudnya, dari tiga pekerjaan tadi, yang mulanya harga pekerjaan blanko Rp12.000 diubah menjadi sekitar Rp8.000, lalu pekerjaan perso dari sekitar Rp3.000 menjadi Rp4.000, lalu distribusi dari Rp200 menjadi sekitar Rp3.000. Totalnya tetap Rp16.000,” kata Eko.
Kesalahan metodologi Auditor BPKP yakni menggabungkan data harga awal konsorsium PNRI dan harga yang sudah dibobot untuk menghitung harga satuan keping e-KTP. Kesalahan itu membuat harga satu keping e-KTP menjadi lebih mahal.
Dari sumber konsorsium PNRI, auditor mengambil harga pekerjaan blanko sebesar Rp12.000. Sedangkan, dari sumber harga bobot, auditor menggunakan dua pekerjaan terakhir yaitu Rp4.243 (perso) dan 3.349 (distribusi). Hal itu membuat total harga satu keping e-KTP menjadi sekitar Rp19.000.
“Jadi harganya menjadi lebih besar dari pada harga atau nilai kontrak yang disepakati bersama yaitu Rp16.000. Tapi karena menggunakan perhitungan dengan dua sumber berbeda menjadi sekitar Rp19.000,” kata Eko.
“Menurut Ahli, dengan hal itu, auditor melakukan kesalahan jenis seperti apa?” tanya Ketua tim penasehat hukum Isnu Edhi, Endar Sumarsono SH.
“Terjadi penyimpangan dalam membuktikan harga kontrak. Jadi ada penyimpangan yang terjadi oleh auditor dalam menghitung,” tegas Eko.
Tidak hanya itu, auditor juga dinilai melakukan kesalahan dalam menentukan harga wajar suatu pekerjaan yang dilakukan PNRI. Auditor hanya meminta pendapat ahli untuk menentukan harga wajar suatu produk atau pekerjaan. Ahli itu pun hanya memberikan jawaban berdasarkan asumsi. Asumsi itu diperoleh dengan cara menjumlah semua harga bahan dalam membuat suatu produk.
Menurut Eko, auditor seharusnya melakukan sejumlah langkah dalam menentukan harga wajar. Langkah itu seperti melakukan konfirmasi harga kepada seluruh pejabat yang terlibat (dalam hal ini, auditor hanya melakukan konfirmasi ke sebagian pejabat), membandingkan dengan produk sejenis dari perusahaan lain (melihat harga pasar), dan membandingkan harga dengan para peserta tender.
“Sayangnya, auditor tidak melakukan itu. Mereka tidak menanyakan ke industri sejenis. Mereka juga tidak melihat dari peserta tender padahal di sana ada beberapa tender yang mencantumkan harga barang. Itu bisa digunakan untuk membandingkan,” kata Eko.
Dalam hal ini, auditor melakukan kesalahan acuan penentuan harga wajar pada pekerjaan PETG, chip, personalisasi, dan distribusi. Untuk penentuan harga wajar PETG, auditor membandingkan harga PETG yang hanya bahannya saja (berdasarkan pendapat ahli) dengan harga PETG ditambah ongkos laminasi dan ongkos produksi (komponen biaya sebenarnya).
“PETG bahan saja apakah bisa dibandingkan dengan PETG ditambah ongkos laminasi dan produksi?” tanya Endar.
“Tidak bisa membandingkan kaya gitu. Harus sama-sama PETG. Kalau dibandingkan seperti itu auditor dalam menguji tidak melakukan objektif. Objektif di sini adalah memperoleh informasi terkait PETG yang mau dibandingkan tadi,” jawab Eko.
Lalu, untuk penentuan harga wajar chip, auditor membandingkan harga chip dengan bahan chip saja (acuan harga auditor dari pendapat ahli) dengan harga chip yang sudah ditambahkan dengan antena (nilai harga sebenarnya).
“Di sini jelas ada perbedaan antara chipnya saja dengan chip dan antena. Itu tidak bisa dibandingkan karena kualitasnya lebih baik chip dan antena. Ini memerlukan masing-masing. Penguji harusnya mencari dokumen lain untuk melihat seperti itu. Setelah diidentifikasi, harusnya dilihat dan diuji dengan melakukan konfirmasi kepada para pejabat terkait dengan permasalah tadi,” kata Eko.
“Jadi membandingkan harga dengan asumsi dari ahli itu tidak bisa padahal ada harga pasar?” tanya Penasehat Hukum Endar.
“Tidak bisa karena menghitung kerugian negara harus nyata dan pasti. Kalau pakai asumsi tidak nyata dan angka pasti karena tidak menunjukkan angka sesungguhnya,” tegas Eko.
Kesalahan lainnya, ada dalam menentukan harga wajar personalisasi. Auditor menggunakan acuan dari harga personalisasi yang hanya pekerjaan memasukkan data elektronik ke dalam chip (asumsi ahli) dibandingkan dengan harga personalisasi dengan pekerjaan memasukkan data ditambah pekerjaan mencetak secara visual dengan printer (harga sebenarnya).
“Ini juga keliru. Harusnya auditor bertanya kepada pemenang tender (Konsorsium PNRI). Tanya pekerjaan personalisasi apa saja. Misalkan ada 10 kegiatan baru tanya ke ahli. Nah kalau ini langsung nanya ke ahli yang katakanlah hanya menghitung 3 kegiatan. Ini keliru,” ujar Eko.
“Kalau harga wajar distribusi bisakah dibandingkan antara harga distribusi yang pekerjaanya pengiriman, biaya gudang, biaya sortir, dan biaya packaging dengan biaya pengiriman melalui PT Pos Indonesia saja?” tanya Endar.
“Tidak bisa. Auditor seharusnya menguji dan mengidentifikasi baru bisa membandingkan. Auditor harusnya mencari bukti dari laporan tadi,” jawab Eko.
“Nah dari semua hal itu. Artinya auditor banyak melakukan kesalahan dalam perhitungan kerugian negara. Lalu laporan kerugian negara itu apakah layak menjadi perhitungan kerugian negara?” tanya Endar.
“Dalam ilmu audit, jika auditor melakukan kesalahan atau kelalaian tadi maka harus dievaluasi. Caranya, anggota audit memberikan laporan ke pimpinan. Nah, pimpinan kemudian menyampaikan secara tertulis kesalahan tadi ke semua pihak terkait,” kata Eko.
“Kalau tidak melakukan itu maka auditor tidak bisa memberikan kesimpulan kepada masalah yang sedang diuji,” tegas Eko.