channel9.id – Jakarta. Penasihat Hukum Isnu Edhi Wijaya meminta Majelis Hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap kliennya dalam perkara korupsi pengadaan proyek e-KTP Tahun Anggaran 2011-2013.
Permintaan itu disampaikan dalam pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di PN Tipikor, Jakarta, Senin 24 Oktober 2022.
Menurut Endar Sumarsono SH, Penasihat Hukum, terdakwa Isnu tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan pada dakwaan primair dan dakwaan subsidair.
“Membebaskan terdakwa II, Isnu Edhi Wijaya dari segala dakwaan atau setidak-tidaknya melepaskan terdakwa dari tuntutuan pidana,” ujar Endar Sumarsono SH, Tim Penasihat Hukum Isnu Edhi Wijaya.
Penasihat Hukum juga meminta majelis hakim mengeluarkan Isnu dari tahanan.
“Memulihkan harkat martabat dan nama baik terdakwa dalam keadaan semula. Lalu, mengembalikan seluruh barang bukti yang disita dari Isnu Edhy Wijaya, dan membebankan biaya perkara kepada negara,” ujarnya.
Penasihat Hukum Isnu mengatakan, kliennya tidak melanggar unsur dalam Pasal 3 UU Tipikor.
Pasal 3 berbunyi ‘Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara’.
Terkait unsur menguntungkan diri sendiri, Isnu tidak terbukti melakukan upaya memperkaya diri sendiri berdasarkan fakta hukum yang ada.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuduh Isnu tidak sempat menikmati hasil uang korupsi proyek e-KTTP karena sudah disita lebih dahulu oleh KPK.
Menurut Penasihat Hukum, JPU sejatinya menyadari bahwa secara faktual Isnu tidak mendapatkan keuntungan apapun terkait proyek e-KTP. Sebab, Isnu sebagai Dirut Perum PNRI sekaligus Ketua Konsorsium PNRI tidak pernah menerima sesuatu baik berupa uang atau barang terkait pekerjaan proyek e-KTP.
“ISNU hanya menerima gaji, honor jasa produksi, dan fasilitas mobil dinas sebagai Dirut PNRI. Sedangkan, Isnu tidak menerima penghasilan atau upah tambahan apapun,” kata Penasihat Hukum.
“Terlebih terdakwa telah pensiun sejak Februari sampai Maret 2013 di saat e-KTP masih berjalan. Jadi bagaimana mungkin terdakwa bisa menikmati sisa uang di rekening konsorsium atau MB yang notabenenya akan dikembalikan ke masing-masing anggota konsorsium yang masuk ke perusahaan bukan pribadi,” lanjutnya.
Terkait menguntungkan orang lain, unsur ini juga tidak terpenuhi dan tidak terbukti.
JPU mengatakan bahwa Isnu memperkaya Husni Fahmi, Andi Agustinus, Setya Novanto, Irman, Sugiharto, Diah Anggraeni, Drajat Wisnu, Wahyu, dan Johannes Marliem. Faktanya, Isnu tidak pernah memberikan uang kepada orang-orang tersebut. Bahkan, Isnu tidak mengenal dan tidak pernah bertemu Setya Novanto.
Adapun keterlibatan PNRI bekerja sama dengan perusahaan lain untuk membentuk konsorsium (syarat ikut tender e-KTP), dalam rangka peluang bisnis yang tujuannya memperoleh keuntungan. Menurut penasihat hukum, kerja sama tersebut benar dan sah. Sebab, pada prinsipnya, setiap orang berhak mencari kekayaan asalkan tidak melanggar hukum.
Kemudian, terkait unsur menguntungkan korporasi juga tidak terpenuhi dan tidak terbukti.
JPU mengatakan bahwa Isnu menguntungkan korporasi sebesar Rp107 miliar. Penasihat hukum mengatakan, dakwaan itu berlebihan dan mengada-mengada. Alasannya, Isnu Edhy Wijaya adalah salah satu dirut perusahaan BUMN. Sudah semestinya, tugas Dirut untuk mencari usaha mendapatkan laba, profit, keuntungan, atau kekayaan untuk perusahaan.
Oleh karena itu, keikutsertaan PNRI pada proyek e-KTP dalam rangka mencari keuntungan untuk perusahaan. Pun langkah Isnu sudah mendapat persetujuan dari dewan pengawas PNRI.
“Terlepas dari analisis unsur menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan korporasi, dengan tidak terbuktinya penyalahgunaan jabatan atau kekuatan melawan hukum, maka dengan sendirinya dakwaan itu tidak terpenuhi dan tidak terbukti,” ujar Endar Sumarsono, Tim Penasihat Hukum Isnu Edhi Wijaya.