Oleh: Soffa Ihsan*
Channel9.id – Jakarta. Taliban berhasil menduduki pemerintahan Afganistan. Kemenangan Taliban dari berbagai amatan ada yang menyebut bisa memicu semangat kelompok radikal untuk mendirikan negara Islam. Mulanya, kemenangan Taliban ini sekaligus menjadi kekalahan ISIS. Memang Taliban sedari dulu menolak ISIS yang menciptakan daulah sendiri. Kemenangan Taliban ini, memang tidak akan secara langsung membuat gerakan terorisme di Indonesia menjadi lebih kuat. Namun kemenangan Taliban bisa menginspirasi kelompok radikal untuk menciptakan negara Islam. Kita ambil contoh pernyataan sikap kelompok Jamaah Ansharu Syari’ah (JAS) yang didirikan oleh putra Abu Bakar Baasyir, Abdurahim Baasyir. JAS mensyukuri kemenangan Taliban dan mendukung Taliban menerapkan sistem negara Islam secara Kaffah.
Di sebelah lain, kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan pada Agustus 2021 telah memuncahkan ketakutan akan terjadinya aksi teroris baru serta meluber menjadi ancaman di Asia Tenggara. Banyak orang di kawasan itu khawatir bahwa Taliban bisa kembali memberikan keamanan surga bagi al-Qaeda dan memungkinkan Afghanistan menjadi pusat pelatihan teroris internasional sebagaimana yang pernah terjadi di tahun 1990-an. Pemboman di sekitr bandara Kabul 2021 menunjukkan bahwa ISIS, yang memusuhi Taliban, dapat menginspirasi para pendukungnya di seluruh dunia untuk melakukan serangan-serangan baru dalam babak baru yang mematikan dari satu keunggulan ekstrimis.
Berdasarkan sejarah, dulu sewaktu invasi Soviet ke Afghanistan, setidaknya dari Indonesia sendiri sudah ada 10 gelombang pengiriman orang ke Afghanistan dari beberapa kelompok. Di sana, mereka berlatih, mengumpulkan amunisi, dan juga membangun jaringan terorisme. Pada akhirnya, mereka pulang ke Indonesia dan membuat sejumlah teror. Seperti Ali Imron yang berangkat pada gelombang terakhir, pulang ke sini sekitar tahun 1990-an. Kemudian tidak lama setelah pulang mulailah ada aksi-aksi teror yang dilakukan.
Baca juga: The End of Jamaah Islamiyah and The Last Terror ?
Mereka yang berangkat ke Afghanistan mengalami proses brainwash ideologi yang membuat pembelokan tujuan. Awalnya mereka memiliki cita-cita untuk menyelamatkan saudara sesama muslim, tapi karena proses itu mereka berkeinginan membangun Daulah Islamiyah dengan aksi-aksi teror. Seperti yang dilakukan kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Kalau kita lihat beberapa peristiwa yang menjadi penyerangan dari JI adalah bom malam Natal tahun 2000, keterlibatan konflik di Ambon dan Poso, Bom Bali 1 dan 2, Hotel JW Marriott, bom Kedubes Australia, dan kemudian Rich Carlton 2009.
Mengurai Risiko
Risiko dari al-Qaeda dan Taliban di Asia Tenggara, setidaknya dalam jangka pendek cukup rendah. Risiko dari sisa-sisa ISIS bisa lebih tinggi, terutama karena mereka adalah pelaku utama serangan teroris di Indonesia dan Filipina sejak tahun 2014. Organisasi ekstremis dengan hubungan terdekat dengan Afghanistan dan al-Qaeda di masa lalu adalah Jamaah Islamiyah (JI), kelompok yang bertanggung jawab atas bom Bali 2002 dan teroris lainnya serangan di Indonesia dan Filipina, serta menggagalkan plot di Singapura. JI tidak pernah secara struktural bagian dari al-Qaeda, tetapi JI membutuhkan pendanaan serta pelatihan dari al-Qaeda, termasuk untuk Bom Bali, bekerja dengan beberapa operasi kuncinya dan menerima ajaran ideologis dasarnya. Hubungan operasional secara efektif berakhir dengan penangkapan orang Indonesia tahun 2003 di Thailand, yaitu terhadap anggota JI Hambali, yang menjadi satu-satunya orang Indonesia yang ditahan di Guantanamo. Sebelum penangkapan, bagaimanapun, Hambali telah mengamankan dana tambahan dari al-Qaeda yang disalurkan ke JI. Militan sempalan yang dipimpin oleh Noordin Top, bertanggung jawab atas serangan besar di Indonesia pada tahun 2003, 2004, 2005 dan 2009, bahkan sebagian besar kepemimpinan JI menjauh dari kekerasan.
JI tampak memudar dari pandangan, terutama ketika ISIS mendominasi lanskap teroris. Bahkan, secara sistematis membangun kembali, dengan program yang fokus pada dakwah dan pendidikan. Ketika konflik Suriah pecah, pemimpin atau amir JI melihat peluang untuk membangun kembali kapasitas militer dan memulai program untuk merekrut dan mengirim orang untuk berlatih dengan yang berbeda milisi, termasuk yang terkait dengan ISIS dan al-Qaeda (IPAC, 2017).
Pelajaran yang didapat dari pemerintah Taliban pertama di Afghanistan adalah bahwa Taliban jatuh karena tidak memiliki sarana untuk mempertahankan diri dari serangan Amerika. Oleh karena itu, kapasitas militer diperlukan untuk pertahanan serta ekspansi akhirnya. Penangkapan dan deportasi dari Turki terhadap satu kelompok anggota JI pada Desember 2017 membawa program pelatihan di Suriah, dan ruang lingkup JI yang direvitalisasi, menjadi perhatian polisi Indonesia. Setelah periode pengawasan yang lama, tindakan keras dimulai, dan polisi sejak pertengahan 2019 telah menangkap dan mengadili sekitar 200 tersangka JI, termasuk sang amir, Para Widjayanto. Organisasi telah hancur dan tidak memiliki kapasitas untuk mengeksploitasi sebuah kemenangan Taliban di Afghanistan. JI, bagaimanapun, selalu menunjukkan bakat untuk berpikir ke depan dan strategi jangka panjang dan bahkan dalam posisinya yang lemah, tidak ada yang harus mengesampingkannya.
Sikap JI
Di bawah Para Widjayanto, JI melarang anggotanya melakukan amaliyah, atau tindakan terorisme di Indonesia. Hal itu hanya akan memungkinkan mereka sebagai awal untuk merebut kekuasaan, dan Para Wijayanto tahu ini butuh waktu yang lama. Untuk itu, JI harus melewati dua tahap (marhala): persiapan kekuatan, termasuk logistik dan personel (nuqthah inthilaq) dan “kemenangan konsep” (tamkin risalat). Yang terakhir ini bertujuan untuk melemahkan otoritas musuh melalui dakwah dan perang informasi. JI hanya akan menggunakan kekuatan ketika dua tahap ini selesai, dan sudah siap memasuki dua tahap berikutnya: nikyah wal inhak (menghabiskan energi musuh) dan idaratut tawahusy (mengelola kekacauan) (IPAC, 2014).
Manual referensi JI untuk dua tahap terakhir ini adalah buku Manajemen Kebiadaban karya Abu Bakar Naji yang menjadi inspirasi bagi Abu Musab al-Zarqawi di Irak dan telah menginspirasi banyak komandan al-Qaeda. Tidak jelas apakah ada perubahan strategi sejak penangkapan Para Widjayanto pada Juli 2019 dan penangkapan-penangkapan berikutnya. Setiap perubahan akan tergantung pada siapa yang dipilih untuk menggantikan Para Wijayanto sebagai amir, dan hingga Agustus 2021, tidak jelas apakah ada seleksi yang dilakukan. Amir baru dapat memilih untuk melanjutkan strategi saat ini, dalam hal ini JI tidak akan mendukung teroris manapun tindakan. Tetapi seorang amir baru juga dapat memutuskan bahwa jihad defensif adalah satu-satunya cara untuk menghadapi pemerintah dan mempertahankan diri dalam menghadapi musuh.
Siapa yang dilihat JI sebagai musuh? JI melihat dua musuh, yaitu musuh jauh seperti Amerika dan sekutunya, dan musuh dekat yaitu Pemerintah Indonesia, atas penolakannya untuk menerapkan hukum Islam. JI selalu menekankan perlunya memahami konteks lokal sebelum memutuskan mana yang akan diprioritaskan. Ini telah berulang kali menekankan bahwa serangan di Indonesia kontraproduktif selama negara tidak diserang dan tidak ada dukungan publik untuk kekerasan (berlawanan dengan negara-negara di bawah pendudukan). JI tidak pernah menerima kekhalifahan ISIS sebagai sah tetapi tetap percaya bahwa kekhalifahan yang benar akhirnya akan didirikan di Suriah. Kapanpun itu terjadi, di beberapa titik di masa depan, itu pasti akan diserang oleh AS dan sekutunya. Pada saat itu, JI akan memberikan prioritas “musuh jauh”. Metode serangannya mungkin untuk melakukan operasi jihad melawan Aset ekonomi Amerika. Para pemimpinnya dalam beberapa kesempatan membahas tambang raksasa Freeport di Papua sebagai target potensial.
Adanya serangan ISIS dan koalisi Barat menentangnya tidak cukup bagi JI untuk memutuskan menargetkan Barat di Indonesia. Itu juga mungkin tahan terhadap seruan untuk serangan ke Barat dari kelompok-kelompok ekstremis di Afghanistan berikut kemenangan Taliban.
Apa tujuan akhir JI? Apakah fokus Indonesia atau khilafah? Bagaimana tujuan itu berubah? JI sejak awal ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Tidak berhenti sampai di situ, begitu negara Islam atau daulah Islamiyah berdiri, JI akan terus berlanjut upaya pembentukan khilafah melalui ekspansi militer. Khilafah itu bisa dimulai di Indonesia dan bercabang ke luar daerah. Pandangan ini berubah setelah Para Widjayanto mengambil alih kepemimpinan (2008-2019). Dia mengambil alih setelah penangkapan Zarkasih dan Abu Dujana pada tahun 2007, tetapi baru secara resmi terpilih pada tahun 2009.
JI menjadi yakin bahwa kekhalifahan tidak akan didirikan di Indonesia karena sebab musabab. Mulai sekitar 2011-2012 para pemimpinnya percaya bahwa dunia akan segera berakhir. Banyak Sumber-sumber Muslim menyatakan bahwa akhir zaman akan menjadi saksi berdirinya Khilafah Nabi di Syria, bukan di Indonesia atau daerah lain. Konflik Suriah meningkatkan kemungkinan bahwa kekhalifahan ini, yang didukung oleh kekuatan Imam Mahdi atau penyelamat Islam, akan muncul di sana seperti yang diramalkan. Sulit untuk terlalu menekankan betapa pentingnya atau dalam memegang apokaliptik ini keyakinan itu, bahkan di kalangan pragmatis seperti Para Widjayanto (Greg Fealy, 2019).
Fokus pada Suriah tidak berarti bahwa JI telah meninggalkan tujuannya untuk mendirikan negara Islam Indonesia. Hanya saja negara Indonesia akan memberikan dukungannya kepada kekhalifahan yang lebih besar di Suriah, memberikan dukungan logistik, personel, dan wilayah untuk melakukan operasi jihad melawan musuh khilafah.
Apa strategi jangka pendek dan jangka panjang JI dan bagaimana perubahannya dengan gelombang penangkapan? JI di bawah kepemimpinannya Para Wijayanto bertujuan untuk kemenangan politik dan militer. Ia percaya bahwa struktur pemerintahan untuk negara Islam tidak cukup kecuali didukung oleh militer yang kuat memaksa.
Strategi besar JI masih menggunakan kombinasi dakwah dan jihad untuk meraih kemenangan. Tetapi dalam strategi baru yang dikembangkan dibawah Para Widjayanto setelah 2008, jihad sebagai pertempuran fisik harus tunduk pada dakwah. Dengan demikian, konsep jihad elitis diubah menjadi jihad populer. Satu-satunya cara untuk mengundang umat Islam yang beriman secara lebih umum untuk memikul beban jihad adalah melalui dakwah agama.
JI mengandalkan tiga jenis dakwah. Yang pertama berupa dakwah keagamaan. Tujuan selain perekrutan adalah untuk membuat umat sadar akan pentingnya jihad. Oleh karena itu, JI mendirikan berbagai lembaga dakwah seperti Madina, singkatan dari Majelis Dakwah Islam Indonesia (Majelis Dakwah Islam Indonesia), pada 25 November 2013 untuk melatih para cendekiawannya sendiri tentang cara menarik pendukung. Itu secara sadar memodelkan lembaga setelah sebuah badan dakwah, Ikatan Dai Indonesia, yang dijalankan oleh partai politik Islamis PKS telah berperan penting dalam perekrutan PKS terhadap hampir dua juta orang di tingkat akar rumput. Sementara JI tidak bisa berharap untuk mencapai jumlah seperti itu. Para Dai mengedepan seperti Farid Okbah, dikenal untuk fokus anti-Syiahnya, dan Lukman Hakim Syuhada, lebih dikenal sebagai El-Hakimi, seorang pemuda dan penulis “Refleksi Jihad Aceh” (Refleksi Jihad Aceh), kritik terhadap kurangnya tujuan jangka panjang gerakan ekstremis. MADINA terus menjadi dakwah terbesar di tubuh JI dengan cabang di seluruh negeri.
Bentuk dakwah kedua adalah melalui bantuan sosial dan kemanusiaan, seperti sumbangan kepada fakir miskin, pelayanan kesehatan gratis, bantuan bencana dan sejenisnya. Untuk tujuan ini, JI didirikan beberapa organisasi bantuan seperti Abdurrahman bin Auf, One Care, dan Syam Organizer. Ini program bakti sosial ini banyak diilhami oleh kelompok Ansharul Syariah di Libya (ASL), yang menggunakan bantuan untuk memperluas basis dukungannya. Prioritasnya dakwah dulu, jihad belakangan.
Bentuk dakwah ketiga adalah perang informasi yang dirancang untuk menggerogoti legitimasi dari pemerintah. Itu bertujuan untuk tidak memanusiakan musuh dan dengan demikian menghancurkan hegemoninya, supaya umat berani untuk memberontak. Bentuk dakwah ini dilakukan melalui beberapa website seperti www.kiblat.net, www.lasdipo.net, www.sketsanews.com dan lain-lain. Di 2019, sketsanews.com menjadi sangat aktif menyebarkan propaganda anti-Cina, termasuk berita palsu bahwa China berencana mengirim pasukan ke Indonesia jika etnis Tionghoa di Indonesia menjadi sasaran. Bagi Para Widjayanto, perang informasi ini, yang disebutnya tamkin risalah, adalah tahap penting dalam strategi untuk mencapai kemenangan politik dan harus didahului dengan penggunaan jihad.
Meski menekankan dakwah, JI tidak mengabaikan jihad. JI memiliki program untuk melatih militer kader di dalam negeri dan di Suriah serta menyiapkan dukungan logistik untuk perang. Walaupun upaya itu tidak digunakan dalam waktu dekat.
Memang JI melarang apapun operasi jihad di Indonesia sampai prasyarat kritis dapat dipenuhi. Polarisasi antara Muslim dan musuh Islam terutama pemerintah Indonesia harus mencapai titik didihnya terlebih dahulu. Strategi jihad yang diikuti oleh JI dituangkan dalam buku The Management of Savagery (Idaratu Tawahusi) oleh Abu Bakar Najdi. Manual ini menjadi terkenal sebagai referensi utama Abu Musab Al Zarkawi di Irak, yang kemudian dianggap sebagai nenek moyang ISIS (Abu Bakar Naji, 2004 “The Management of Savagery: The Most Critical Stage Through Which the Umma Will Pass,” translated by William McCants, John M. Olin Institute for Strategic Studies).
Dalam konsep Najdi, mujahidin pertama-tama akan melemahkan musuh dan menyedot energinya melalui serangan berulang-ulang terhadap ekonomi dan pusat-pusat militer. Kemudian akan menimbulkan kekacauan dengan melakukan aksi teror sehingga keamanan situasi akan lepas kendali. Variasi JI dalam hal ini adalah menahan serangan sampai otoritas musuh dapat dirusak melalui metode lain. JI akan terlibat saat kekacauan sedang berlangsung, mengeksploitasinya dengan segala cara yang tersedia termasuk kekerasan, dan memulihkan ketertiban seperti itu siap mendirikan negara Islam.
Penangkapan massal anggota JI oleh polisi Indonesia, sejak pertengahan 2019, mengacaukan rencana tersebut. Pada Agustus 2021, sebagian besar pimpinan puncak ditahan. Pabrik senjata dan tempat penyimpanan bahan peledak telah disita dan upaya penggalangan dana seperti Syam Organizer ditutup. Kegiatan JI adalah hampir benar-benar beku. Setelah tindakan keras sebelumnya pada tahun 2007, butuh sekitar tiga tahun dakwah perlahan-lahan dilanjutkan. Dengan lebih banyak anggota yang ditangkap dalam tindakan keras 2019-2021, itu bisa memakan waktu lebih lama bagi JI untuk membangun kembali.
Bagaimana JI membangun kembali setelah 200 anggotanya ditangkap? Tindakan keras yang dialami JI sejak 2019 mirip dengan apa yang dialaminya setelah penangkapan kepemimpinan seniornya pada tahun 2007, terutama setelah penangkapan amir Zarkasih. Para pemimpin JI sendiri percaya bahwa sekarang harus fokus pada bertahan demi kelangsungan hidup. JI kemungkinan akan kembali ke strategi Para Widjayanto yang terbukti berhasil setelah 2007, yakni, menitikberatkan pada dakwah dan pendidikan. Jaringan pesantren akan menjadi sangat penting, karena di sinilah perekrutan penting masih berlangsung, dan polisi akan menahan diri dari tindakan langsung terhadap sekolah-sekolah. Organisasi-organisasi massa Islam, termasuk yang arus utama, juga kemungkinan besar keberatan dengan segala upaya terang-terangan polisi untuk mengganggu dakwah, selama dai JI tidak mengadvokasi kekerasan secara langsung. Mereka mungkin masih dapat memimpin atau melangsungkan kegiatan dakwahnya. JI bisa saja mengganti namanya demi keamanan. Banyak anggota yang ditangkap dalam tiga tahun terakhir atau empat tahun telah didakwa sebagai keanggotaan dalam organisasi terlarang. JI secara eksplisit sudah dinyatakan sebagai “entitas organisasi terlarang” dalam putusan pengadilan tahun 2008. Nama baru akan memperumit proses hukum, meskipun jaksa kemungkinan akan menemukan cara untuk mengatasi hambatan baru (IPAC, 2021)
Bagaimana perkembangan politik di Indonesia mempengaruhi kemampuan JI untuk membangun kembali? Pada 2020, Para Widjayanto melihat masa depan JI terikat pada kegiatan politik yang berkomitmen untuk menerapkan syariat Islam. Para Wijayanto melihat kerjasama dengan organisasi-organisasi ini sebagai penting untuk setiap kemenangan politik di masa depan. Dalam pandangannya, JI kemungkinan besar akan diuntungkan dari segala upaya untuk memperkuat ormas Islam atau memperluas dukungan bagi mereka yang pro-syariah. Ia melihat adanya penyusupan ke parpol dan MUI misalnya sebagai taktik yang diinginkan. Para Wijayanto mungkin juga berasumsi bahwa jika kerjasama dengan organisasi lain dapat diperkuat, organisasi-organisasi ini mungkin lebih bersedia untuk melindungi anggota JI dari penangkapan oleh Detasemen 88. Tidak diketahui apakah para pemimpin muda JI memiliki asumsi ini.
Bagaimana JI memandang pembangunan koalisi dengan organisasi lain seperti dengan JAT, JAS, JAK, MMI, FPI, Salafi. Sebagaimana dicatat, Para Widjayanto menggeser konsep jihad dari elit menjadi aksi massa. Perubahan pemikiran yang signifikan, hanya dengan dukungan massa, JI dapat mengamankan sebuah politik kemenangan. Ini berarti membangun koalisi (tansiq) dengan organisasi lain yang berpaham sama, tetapi hanya jika mereka adalah Ahlul Sunnah wal Jamaah.
Di bawah amir sebelumnya, JI tidak pernah bekerja dengan organisasi lain, khawatir hal ini akan terjadi kompromi pada sifat klandestinnya. Di bawah Para Wijayanto, JI menjadi lebih tertarik pada aliansi. Ini sebagian karena semakin terfokus pada kebutuhan akan kemenangan dan pembangunan politik basis dukungan yang luas. Tapi setelah bencana kamp pelatihan Aceh 2010, ketika kamp pelatihan militer yang direncanakan menyebabkan penangkapan besar-besaran dan kematian puluhan buronan di di tangan polisi, beberapa intelektual JI menjadi yakin bahwa advokasi non-kekerasan sebenarnya telah berbuat lebih banyak untuk memajukan penegakan hukum Islam daripada melakukan kekerasan.
Pada tahun 2013, JI menunjukkan kesediaannya untuk bergabung dengan koalisi berbasis di Solo yang disebut Dewan Syariah Kota Surakarta (Dewan Syariat Kota Surakarta, DSKS). JI bahkan mengizinkan salah satu kadernya, Tengku Azhar, untuk menjabat sebagai sekretaris jenderal. Kelompok Ini juga mengambil peran aktif dalam demonstrasi massa anti-Ahok di November dan Desember 2016. Bagi JI, peristiwa-peristiwa ini merupakan ujian penting bagi kemampuan mereka untuk memobilisasi pendukungnya. Mereka mengajak anggotanya, peserta pengajian dan siswa di sekolahnya untuk terlibat dalam protes bersama dengan organisasi lain.
Pada demo besar pada 4 November 2016 (dikenal sebagai Aksi 411), JI pun mengeluarkan fatwa bertajuk “Demonstrasi Damai dan Jihad Gerakan, Bisakah Mereka Bekerja Sama?” Fatwa ini mengkritik pandangan yang muncul di kalangan jihad yang berusaha memanfaatkan gerakan damai untuk melakukan tindakan kekerasan. Pendukung pandangan itu percaya bahwa tidak mungkin gerakan non-kekerasan dapat mewujudkan penerapan syariat Islam. Ini hanya bisa dilakukan melalui jihad.
Sebuah desas-desus muncul bahwa satu kelompok jihadis akan mencoba dan menggunakan demonstrasi anti-Ahok sebagai cara untuk menghasut konflik demi membuka pintu ke jihad. JI membantah pandangan ini dan menekankan, seperti yang telah terjadi berkali-kali sebelumnya, bahwa jihad adalah sarana, bukan sebuah akhir.
Seberapa besar JI? Jumlah anggota JI mencapai sekitar 6.000 pada saat Para Widjayanto ditangkap di Juli 2019. Organisasi ini sepenuhnya berbasis di Indonesia, setelah kehilangan basisnya di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Australia sesaat sebelum atau sesudah Bom Bali 2002. Dengan 6.000, JI tiga kali lebih besar dari organisasi pro-ISIS, koalisi yang didirikan oleh Aman Abdurrahman di Malang, Jawa Timur, pada November 2015 yang kemudian dikenal sebagai Jamaah Anshorud Daulah (JAD). Koalisi itu, bagaimanapun, hanya satu dari puluhan kelompok pro-ISIS yang bermunculan setelah deklarasi khilafah pada Juni 2014.
Keanggotaan aktif JI anjlok setelah bom Bali. Sebagian besar karena penangkapan. Pada tahun 2007, sekitar 400 anggota JI telah ditangkap di Indonesia, belum lagi yang banyak ditangkap di Malaysia dan Singapura. Faktor lain dalam penurunan adalah persaingan dari organisasi lain. Pada tahun 2008, Abu Bakar Ba’asyir yang telah dibebaskan dari penjara dan bebas bepergian ke seluruh negeri, mendirikan Jamaah Anshor Tauhid (JAT) sebagai organisasi advokasi pro-syariah. Awalnya seseorang bisa menjadi anggota baik JI maupun JAT, namun setelah Para Widjayanto resmi menjadi amir pada awal 2009, ia melarang anggota untuk bergabung dengan organisasi lain. Kebijakan “monoloyalitas” ini membuat beberapa anggota senior JI mengikuti Ba’asyir dan meninggalkan JI. Mereka antara lain Abu Tholut, Afif Abdul Madjid, Muzayin Atiek dan lain-lain, terutama yang ada di Jawa Tengah atau yang mengajar dalam waktu lama di Pesantren “Al-Mukmin” di Ngruki
Para Widjayanto, bagaimanapun, berhasil mengarahkan organisasi melalui masa sulit, dan JI perlahan mulai bangkit kembali, melalui fokus pada pendidikan. Sejak 2016 dan seterusnya, ia tumbuh lebih pesat karena mulai bekerja lebih terbuka dengan organisasi yang memiliki pemikiran yang sama sambil mempertahankan kebijakan “monoloyalitas”.
Struktur JI dan Kontrol Terpusat
Struktur hierarki JI, sebagaimana telah diubah oleh Para Widjayanto dan beroperasi dari tahun 2009 sampai penangkapannya pada tahun 2019, memungkinkan kontrol pusat yang relatif ketat. Amir dan empat perwakilani berada dibawah markaziyah, atau komando pusat. Para perwakilan ini berfungsi sebagai penyangga untuk meminimalkan kontak antara amir dan pimpinan cabang JI, sehingga lebih sedikit yang mengetahui identitas dan keberadaan pemimpin atas. Divisi tajhiz atau pendukung mengawasi struktur cabang yang terlihat di bawah tingkat provinsi sangat mirip dengan divisi teritorial lama JI tetapi dengan nama baru. Alih-alih empat wilayah yang disebut mantiqi meliputi lima negara, seperti pada saat bom Bali, JI pada tahun 2009 berkurang menjadi dua wilayah utama di Indonesia, Timur dan Barat. Ini disebut qodimah, dan mereka lebih jauh dibagi menjadi unit-unit yang semakin kecil, turun ke tingkat sel dua hingga tiga orang.
Qodimah Barat meliputi wilayah Yogyakarta dan kota-kota Jawa Tengah Kebumen, Cilacap, Semarang, Klaten, dan Salatiga. Itu juga termasuk Jawa Barat, Banten dan Jabodetabek, Jabodetabek, serta Sumatera Lampung, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Aceh). Qodimah Timur termasuk jantung JI lama Solo dan Sukoharjo, tempat pesantren Ngruki berada, serta Wonogiri, Karanganyar dan Sragen. Juga termasuk Jawa Timur (Surabaya, Lamongan, Magetan); Nusa Barat Tenggara dan Sulawesi, termasuk Poso
.
Seperti dalam struktur JI asli, markaziyah, yang dipimpin oleh amir, bertanggungjawab untuk mengatur strategi luas dan kebijakan keamanan. Setiap subdivisi bebas untuk mengubah kebijakan yang luas sebagai pedoman untuk memenuhi kebutuhan lokal. Amir menugaskan para wakilnya untuk mengawasi yang berbeda divisi demi memastikan bahwa kebijakan dilakukan secara efektif. Markaziyah juga memiliki polisi agamanya sendiri, yang dikenal sebagai Tim Hisbah, untuk memastikan bahwa perilaku anggotanya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan menjatuhkan hukuman atas pelanggarannya. Para Widjayanto menjalankan JI seperti bisnis korporasi. Dia melembagakan sistem untuk memberikan insentif kepada semua manajer bekerja penuh waktu, dari markaziyah hingga kepala bagian. Mereka menerima bulanan gaji (mukafaah) dan mobil kantor.( IPAC, 2021).
JI dan kemenangan Taliban
Apakah itu mengubah pandangan JI tentang kegunaan militer? Atau juga akan merubah strategi? Sangat sedikit yang diketahui tentang reaksi internal JI terhadap kemenangan Taliban di Afghanistan, tetapi menurut informasi, banyak anggota yang euforia atas keberhasilan Taliban. Dalam pandangan mereka, hal itu menunjukkan keberhasilan strategi tamkin dalam bergerak dari tahap kelemahan (marhala idtidlaf) menuju kekuasaan melalui jihad fisabilillah. Mereka menyatakan bahwa keberhasilan Taliban disebabkan oleh dua faktor: dengan menerapkan syariah secara penuh, dan Taliban berjuang untuk memenuhi panggilan syariat
Dampak Kemenangan Taliban terhadap Jamaah Islamiyah Indonesia adalah merupakan persyaratan untuk bantuan dari Allah demi kemenangan iman yang kuat. Mereka juga bertemu dengan praktik syarat kemenangan (syarat kauniyah) seperti sumber daya manusia yang memadai, dukungan penduduk, taktik perang yang tepat, senjata yang memadai dan sebagainya. Keberhasilan mereka meyakinkan anggota JI terhadap validitas strategi perang yang dikenal sebagai nikayah wal inhak, juga dikenal sebagai harbu intizab, yang secara bertahap akan melemahkan musuh sampai kekalahan tak terelakkan. Jika Taliban memutuskan untuk melarang al-Qaeda menggunakan Afghanistan sebagai pangkalan, Anggota JI mengatakan mereka tidak akan keberatan. Ia percaya bahwa Taliban perlu menetapkan kebijakan yang mencegah mereka menjadi sasaran AS sebelum mereka sepenuhnya membentuk teritorial kendali atas Afganistan.
Pada saat yang sama, mereka percaya bahwa Taliban perlu memprioritaskan perlindungan mujahidin dan memastikan bahwa tidak ada pejuang yang mencari perlindungan diserahkan kepada musuh. Reaksi JI terhadap kemungkinan bahwa Taliban akan mencari hubungan baik dengan China dan Rusia, dua negara yang sudah lama dipandang sebagai musuh oleh JI, baik karena asal-usul komunis mereka maupun kebijakan mereka terhadap minoritas Muslim di Xinjiang. JI memandang ini bukanlah masalah. Argumen JI berdasar pada Nabi Muhammad tidak pernah melarang kerjasama dengan kafir. Di Mekah, Nabi Muhammad bekerja dengan suku penyembah berhala, Bani Khuzaah, melawan Quraisy yang kafir.
Beberapa anggota JI mengatakan tidak mungkin mengelola ekonomi Afghanistan tanpa bantuan. Mereka mengatakan Taliban perlu belajar dari pengalaman AQAP di Yaman setelah mengambil alih tiga provinsi pada tahun 2012. Itu tidak memiliki cukup dana untuk memerintah. Untuk mencukupi hidup hampir setahun, AQAP menghabiskan sekitar $200 juta untuk barang, listrik dan bahan bakar serta untuk memenuhi biaya perang pada saat kekuatannya sendiri berkurang. Sementara ratusan anggotanya sendiri telah mati dalam pertempuran. Pada akhirnya, kata orang-orang JI, AQAP memutuskan untuk mundur dari ketiganya provinsi dan kembali ke strategi gerilya di pegunungan.
Apakah ini berarti JI akan terinspirasi untuk melakukan perjuangan bersenjata di Indonesia? Tampaknya masih jauh dari upaya tindakan. Mereka percaya bahwa JI masih jauh dari memenuhi dua syarat yang dipenuhi Taliban. Jihad bersenjata masih tidak mungkin dilakukan di Indonesia. JI tahu bahwa tidak memiliki dukungan yang cukup, sumber daya manusia dan senjata untuk memenuhi tujuannya sendiri. JI tampaknya tidak memiliki rencana segera untuk membuka komunikasi dengan al-Qaeda, tetapi jika ingin melakukannya, tidak akan sulit. Memiliki kader di luar negeri yang bisa membantu, khususnya di Suriah.
Bagaimana pula persaingan antara ISIS dan JI di Indonesia? Boleh jadi tidak akan terjadinya persaingan antara JI dan ISIS, yang memang tidak pernah secara khusus dipengaruhi oleh satu sama lain dalam hal menentukan tindakan. Tetapi terkait kompetisi intra-ISIS untuk menunjukkan bahwa satu sel tertentu dapat mengalahkan yang lain. Karena alasan ini, sel-sel ISIS tetap jauh lebih berbahaya daripada apapun yang terkait dengan JI.
Akhirnya, penting untuk ditekankan bahwa tidak ada yang statis. Seorang amir JI baru yang lebih militan bisa muncul dengan pendekatan yang lebih agresif dari pendahulunya. Sebuah kelompok sempalan marah pada Pemerintah Indonesia atas penangkapan tokoh JI. Sementara itu, kemenangan Taliban bisa saja menginspirasi dalam hal pembaharuan operasi jihad. Sel-sel pro-Taliban baru bisa muncul di sekolah-sekolah JI. Oleh karena itu, kewaspadaan sangat diperlukan, bahkan sekalipun kelompok terkait ISIS tetap menjadi ancaman jangka pendek yang lebih tinggi.
*Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)