Channel9.id-Jakarta. Kasus penculikan Malika mestinya jadi bahan refleksi para orangtua. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menekankan bahwa orangtua harus mengedukasi anak-anak agar mereka tak jadi korban penculikan.
Untuk diketahui, Malika (6) diculik di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat oleh seorang pemulung bernama Iwan Sumarno (42). Malika baru ditemukan pada Minggu, 1 Januari 2023 lalu setelah 26 hari hilang. Malika ditemukan di Ciledug dan kembali ke dekapan orangtuanya, sementara Iwan diamankan ke Polres Jakarta Pusat.
“Kasus (Malika) ini memberi pembelajaran kepada kita agar kita tahu bagaimana cara mencegah anak-anak menjadi korban penculikan,” tutur Retno melalui kanal YouTube Jurnal Retno Listyarti, Sabtu, 7 Januari 2023 lalu.
Retno mengatakan bahwa korban penculikan anak biasanya tak menyadari dan tak bisa membaca situasi bahaya. Maka dari itu, kata dia, anak perlu diedukasi agar memahami situasi tersebut
“Kok dia diajak naik kendaraan umum cukup lama, tidak pulang-pulang, tidak bertemu ayah dan ibunya, itu berarti dia dalam situasi bahaya. Sampaikan dan ajarkan ke anak, ini termasuk penculikan, terutama ke anak di bawah 12 tahun yang biasanya jadi target penculikan,” pungkas dia.
Selain itu, anak juga harus diedukasi bahwa mereka harus minta tolong saat sedang dalam situasi berbahaya. Retno mencontohkan, ketika si penculik sedang lengah, anak bisa mencari pertolongan.
“Misalnya ketika si pelaku sedang beli makan atau tidur, anak bisa acar pertolongan ke orang lain. Anak bisa bilang ‘mau bertemu dengan ayah dan ibu’ atau bilang ‘ini bukan ayah dan ibu saya’,” jelasnya. “Anak juga mesti diajarkan untuk bilang ‘tolong’ ketika menangis saat diculik, bukan panggil ayah atau ibu. Sinyal-sinyal seperti itu harus diajarkan.”
Retno mengatakan bahwa dengan sinyal-sinyal itu, orang yang melihat si anak bakal sadar jika anak tersebut dalam bahaya. Apalagi pelaku hampir pasti tampak panik. Ia yakin orang yang melihat akan membantu.
Ia juga menambahkan bahwa kasus penculikan anak kerap terjadi di tempat ramai, seperti tempat wisata atau mal. Anak yang terpisah dari orangtua rentan jadi target penculikan. “Kalau terpisah dari gandengan orangtua, anak diajarkan agar tenang dan tak nangis. Ajari untuk cari orang berseragam. Bisa SPG, satpam, dan polisi. Kenapa harus orang berseragam? Karena jelas identitasnya dan mudah dipantau CCTV. Orang-orang itu akan mengantar si anak ke bagian informasi,” jelasnya.
Hal yang tak kalah penting, lanjut Retno, minta anak untuk menghafal namanya sendiri, nama orangtu, dan alamat tempat tinggal. “Terutama kalau anak sudah bicara… Ini anak mudah diidentifikasi,” tandasnya.
Selain di tempat ramai, penculikan juga kerap terjadi ketika si anak sedang dalam perjalanan pulang sekolah. Orang tua yang tak bisa menjemput anak secara langsung mungkin akan mengutus seseorang untuk menjemput. Terkait hal ini, Retno menyarankan penggunaan kata sandi atau “password”.
“Orang tua bisa suruh orang lain untuk jemput anak. Lalu bilang ke penjemput ‘password’-nya beruang, misalnya. Nanti ketika si penjemput datang, anak akan nanya, ‘password-nya apa?’. Kalau jawaban penjemput cocok dengan si anak, maka itu orang yang betulan diutus orangtua. Password ini harus selalu diganti,” terang Retno.
Lebih lanjut, Retno mengatakan bahwa guru juga perlu diajak kerja sama. Jika anak-anak belum dijemput, maka guru harus pastikan di anak dijemput oleh orang yang identitasnya jelas. Anak sebaiknya di dalam area sekolah kalau penjemputnya belum datang.
“Jadi, orangtua nggak perlu khawatir berlebihan. Tapi buat juga anak-anak kita memahami. Harus diedukasi ketika berada dalam situasi bahaya,” pungkas Retno.