Channel9.id – Jakarta. Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan bahwa mengeruk dan mengekspor pasir laut tidak akan merusak lingkungan.
Pengerukan dan ekspor pasir laut itu sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang resmi diundangkan pada 15 Mei 2023.
“Nggak dong (tidak merusak lingkungan), karena semua sekarang ada GPS (global positioning system) segala macam. Kita pastikan tidak (merusak lingkungan) pekerjaannya,” ujar Luhut usai acara peluncuran Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC) di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
“Sekarang kalau diekspor, pasti jauh manfaatnya, untuk BUMN, pemerintah,” imbuhnya.
Luhut mengklaim, ekspor pasir laut bermanfaat bagi kegiatan ekonomi dan industri, khususnya terkait pendalaman alur laut.
Pengerukan, kata Luhut, justru bermanfaat bagi ekosistem laut. Jika tidak, alur laut Indonesia diklaim akan makin dangkal.
“Jadi, untuk kesehatan laut juga. Sekarang proyek yang satu besar ini Rempang (Batam). Rempang itu yang mau direklamasi supaya bisa digunakan untuk industri besar solar panel. Gede sekali solar panel itu,” tutur Luhut.
Sebagai informasi, PP Nomor 26 Tahun 2023 melegalkan pengeksporan pasir laut. Dalam Pasal 9 ayat 2, pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
Padahal, sejak masa pemerintahan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, pasir laut dilarang untuk diekspor. Saat itu, ekspor pasir laut dihentikan sementara demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, yakni tenggelamnya pulau kecil.
Selain itu, aturan ini juga untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta untuk mendukung keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut, sehingga meningkatkan kesehatan laut.
Pelarangan ekspor pasir laut itu diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut.
Penghentian ekspor itu akan ditinjau kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau kecil.
Sementara itu, Greenpeace Indonesia menyebut pemerintah melakukan greenwashing atau pencitraan agar terlihat ramah lingkungan melalui PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
“Ini adalah greenwashing ala pemerintah,” ujar Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah melalui keterangan tertulis, Selasa (30/5/2023), dikutip dari CNN Indonesia.
“Pemerintah kembali bermain dengan narasi yang seakan mengedepankan semangat pemulihan lingkungan dan keberlanjutan, tetapi nyatanya malah menggelar karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki,” imbuhnya.
Ia menyinggung kebijakan di era Megawati yang melarang ekspor pasir laut. Pada Februari 2003 juga terbit sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Industri dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Lingkungan Hidup yang mengatur tentang hal itu.
Afdillah pun mengingatkan bahwa SKB tersebut dibuat untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil di wilayah Kepulauan Riau akibat penambangan pasir laut.
Ia mengatakan, demi proyek strategis nasional, berbagai kerusakan alam dan kerugian sosial-ekonomi terjadi di Pulau Kodingareng, Makassar.
Temuan tersebut terungkap dalam laporan berjudul Panraki Pa’boya-Boyangang: Oligarki Proyek Strategis Nasional dan Kerusakan Laut Spermonde tahun 2020.
Laporan tersebut disusun oleh Greenpeace Indonesia bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil lain yang tergabung dalam Koalisi Save Spermonde.
Afdillah berpendapat PP 26/2023 itu menambah catatan buruk pemerintah dalam penanganan sektor kelautan. Dengan dikeluarkannya beleid itu, ia juga memandang pemerintah tidak mampu mengelola sumber daya laut dengan cerdas.
“Sehingga kerap mengambil jalan pintas untuk meningkatkan pendapatan negara melalui cara-cara ekstraktif seperti ini. Lebih parah lagi, kebijakan semacam ini bisa jadi diambil tanpa kajian yang matang serta mengabaikan aspek ekologis dan hak asasi manusia,” tutur Afdillah.
Baca juga: Warga Desa Adat Tak Sepakat Terminal LNG Sidakarya Ditarik ke Laut
HT