Channel9.id – Jakarta. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keterangan fraksi PDI-P yang mendadak dibacakan di sela penyampaian pandangan DPR RI dalam sidang pemeriksaan gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka.
Awalnya, pada sidang pleno yang digelar pada 26 Januari 2023 lalu, Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P Arteria Dahlan meminta majelis hakim MK mengabulkan uji materil UU Pemilu dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022 itu.
Saat itu, Arteria secara tiba-tiba menyampaikan permintaannya ketika perwakilan Komisi III lainnya, Supriansa, membacakan pandangan DPR terkait perkara ini.
“Fraksi PDI-P memohon agar kiranya Yang Mulia ketua dan majelis hakim konstitusi dapat memutus sebagai berikut, hanya satu permintaan PDI-P, yaitu menerima keterangan fraksi PDI-P secara keseluruhan,” ujar Arteria.
Permintaan Arteria itu disebut berlawanan dengan permintaan DPR RI melalui Komisi III yang meminta MK menolak permohonan uji materi ini.
“Keterangan DPR sejatinya merupakan keterangan yang diberikan lembaga perwakilan rakyat sebagai satu kesatuan pandangan lembaga, bukan pandangan fraksi,” kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).
Guntur mengatakan MK mempertimbangkan pemberi keterangan dalam perkara pengujian UU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara Pengujian UU adalah lembaga negara.
Menurutnya, perbedaan pandangan dari Fraksi PDIP merupakan persoalan yang ada di internal DPR sebagai sebuah lembaga yang menjadi pihak terkait pada perkara ini.
“Yang akan Mahkamah pertimbangan adalah keterangan DPR secara kelembagaan,” lanjutnya.
Sebagai informasi, MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait sistem proporsional terbuka. Gugatan ini diajukan pada 14 November 2022 dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022.
Kemudian, MK menggelar sidang perdana dengan jadwal pemeriksaan pendahuluan I pada 23 November 2022. Hingga jelang putusan, MK tercatat telah melakukan 17 kali sidang.
Gugatan terhadap UU Pemilu ini diajukan enam orang dari berbagai kalangan. Penggugat menginginkan pemilihan umum memberlakukan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik.
Enam orang penggugat itu antara lain kader PDI Perjuangan Demas Brian Wicaksono, kader NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Dalam sidang perdana, sejumlah alasan disampaikan para pemohon. Sistem pemilu yang memilih calon legislatif secara langsung dinilai hanya menjual diri calon bermodal populer tanpa ikatan ideologis dengan partai. Calon tersebut juga dianggap tidak punya pengalaman organisasi partai politik atau organisasi sosial politik.
Maka, ketika terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD, calon legislatif itu dinilai tidak mewakili organisasi partai politik, tetapi mewakili diri sendiri.
Menurut pemohon, harus ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah melalui proses pendidikan, kaderisasi dan pembinaan ideologi partai.
Alasan lainnya, pemohon meniali sistem pemilihan calon legislatif secara langsung berpotensi menimbulkan individualisme para politisi yang mengakibatkan konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik.
Pemohon memandang, persaingan itu harusnya terjadi antar partai politik, karena sesuai UUD 1946 Pasal 22E ayat (3) peserta pemilu adalah partai politik.
Baca juga: MK Putuskan Nasib Sistem Pemilu Terbuka Hari Ini
HT