Channel9.id – Jakarta. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengonfirmasi bahwa sebanyak 26 bayi di sejumlah negara Eropa, seperti Kroasia, Prancis, Italia, Spanyol, Swedia, dan Britania Raya, dilaporkan telah terinfeksi enterovirus. Selain itu, delapan dari 26 bayi dilaporkan meninggal dunia akibat kegagalan organ dan sepsis, sebagaimana pernyataan WHO pada Jumat (7/7/2023) waktu setempat.
Di Indonesia sendiri, juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Mohammad Syahril menyebut enterovirus belum masuk ke Indonesia maupun negara ASEAN.
Meski belum terdeteksi, masyarakat Indonesia dinilai perlu mengetahui sifat entrovirus, cara penularan, gejala, dampak, serta cara mencegahnya.
Oleh karena itu, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar dengan tema ‘Mengenal, Mencegah, dan Mengatasi Enterovirus’, Rabu (19/7/2023). Pada webinar kali ini, MIPI menghadirkan pakar virus dr. Mohammad Indro Cahyono.
Dalam pemaparannya, pakar virus lulusan Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan bahwa berdasarkan taksonominya, enterovirus termasuk ke dalam famili Picornaviridae, yang artinya berukuran sangat kecil yakni kurang dari 50 nanometer.
Sebagaimana ramai diberitakan di media-media massa, enterovirus acapkali disamakan dengan echovirus. Saat ini, virus yang kerap menjangkit manusia, umumnya bayi berusia kurang dari 4 bulan, bernama echovirus-11. Namun, Indro menegaskan bahwa echovirus adalah salah satu virus yang termasuk dalam genus enterovirus.
Nama echovirus berasal dari singkatan enteric, cytophatic, human, orphan yang artinya virus yang menyebabkan kerusakan sel dan dapat tumbuh ataupun bereplikasi di perut serta tanpa gejala. Selain itu, enterovirus merupakan virus yang sulit dihancurkan dan bertahan lama di lingkungan.
“Meskipun begitu, enterovirus tetap bisa dihancurkan,” ucap Indro.
Ia mengungkapkan, enterovirus bertahan di saluran pencernaan dan bereplikasi di dalam usus manusia. Virus ini, kata Indro, menyebar melalui kotoran manusia.
“Itu sebabnya kenapa virus-virus yang ada di dalam genus enterovirus, nyebarnya lewat kotoran. Meskipun kalau sudah sistemik bisa juga lewat droplet, tapi dia akan lebih banyak lewat kotoran.
Virus ini pertama kali ditemukan oleh seorang peneliti bernama Modlin pada tahun 1980. Ia menemukan virus ini saat meneliti penyakit hepatitis pada bayi berusia 1 bulan.
“Kemudian dia ambil sampel, lagi-lagi dari kotoran, karena dia berpikir kalau ini nyebar berarti mestinya karena virus. Dia meneliti kotoran anak-anaknya, kemudian dia temukan virus echovirus ini,” ujar virolog yang juga sebagai dokter hewan ini.
Ia mengatakan, echovirus spesifik menyerang sel pankreas, tapi ia juga menyerang sel saraf seperti enterovirus lainnya.
“Apapun gangguan yang terjadi di pankreas juga kepada hati, sehingga akan ada gangguan juga hepatitis,” ucapnya.
Selain hepatitis, penyakit yang juga akan menyerang anak-anak ketika terdapat gangguan di pankreas yakni diabetes.
Indro mengatakan, enterovirus lebih mudah menyerang anak-anak dan bayi karena manusia di atas umur 4 bulan sudah memiliki kekebalan sempurna. Selain itu juga karena sel-sel yang ada di tubuh bayi masih dalam tahap pertumbuhan.
“Kalau kurang dari 1 bulan ya mereka hanya mendapat kekebalan dari ibunya saja. Kalau sampai bayinya ternyata mendapat penyakit berarti dia tidak mendapat air susu ibu dengan baik,” tutur Indro.
Meski begitu, Indro menyebut sistem kekebalan tubuh alami juga dapat mengatasi infeksi enterovirus. Sebab, saat pertama kali virus masuk ke dalam tubuh manusia berusia di atas 4 bulan, virus akan dihancurkan oleh sel imun makrofag.
“Jadi virus masuk ke dalam tubuh itu tidak langsung masuk ke dalam sel target, tidak. Itu kayak, maling mau ngambil uang di kamar, misalnya, maka dia harus buka pintu dulu ruang tamu untuk kemudian bisa masuk ke dalam kemudian baru buka pintu kamar kemudian ngambil uang di dalam kamar,” ujar Indro, menganalogikan.
Selain itu, indro mengatakan, bagi penyintas yang sudah melewati masa infeksi berat hanya akan terjadi sekali dan akan diingat oleh sel B memori hingga puluhan tahun.
“Sehingga kalau sudah nginget, jangankan virusnya mau masuk, kayak pencuri tadi, sebelum dia bisa masuk ke kamar, baru buka pintu ruang tamu sudah ditangkap duluan. Itu loh fungsinya mengingat sel kekebalan seperti itu, untuk analoginya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Indro membagikan cara untuk mencegah agar terjangkitnya enterovirus. Salah satunya dengan meningkatkan kekebalan sistemik, yakni mengonsumsi makanan alami yang mengandung vitamin A, C, dan E guna meningkatkan respon kekebalan serta meningkatkan sel-sel kekebalan, seperti makrofag dan sel denderitik di sistem peredaran darah.
Selain itu, Indro mengatakan cara meningkatkan kekebalan sistemik juga bisa dengan meningkatkan asupan energi alami seperti mengonsumsi madu dan gula aren sebagai sumber energi untuk produksi sel-sel kekebalan dan perbaikan sel yang rusak.
Adapun beberapa hal yang harus dihindari yaitu seperti pemberian rutin obat anti radang ataupun penurun panas. Sebab, menurutnya, obat-obat itu justru mengurangi respon kekebalan tubuh.
“Paracetamol, dexamethasone, itu diberikan kan untuk mengurangi sel radang. Kalau sel radangnya dihentikan, nah ini kayak makrofag nanti dia bisa manggil sel B untuk mengeluarkan antibodi lebih banyak, itu dia pakai sel radang,” tutur Indro.
“Tapi, bukan berarti tidak boleh menggunakan obat anti radang. Tapi saat ada infeksi virus pemakaiannya diperhitungkan jangan dirutinkan dan secukupnya saja. Sebab, jika makrofag, sel B, dan sel dendritik tidak ‘dipanggil’ oleh sel radang karena sudah hilang akibat obat tersebut, tidak ada yang menghentikan perkembangan virus di tubuh,” pungkasnya.
Baca juga: Pakar Virolog Sebut Masyarakat Tak Perlu Khawatir Akan Echovirus
HT