Hot Topic Nasional

Menakar Masa Depan Otonomi Daerah, MIPI Kaji Masalah Desentralisasi di Indonesia

Channel9.id – Jakarta. Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) kembali menggelar webinar bertajuk ‘Pemikiran tentang Masa Depan Otonomi Daerah di Indonesia,’ Sabtu (22/7/2023). Pada webinar sesi kelima kali ini, MIPI menghadirkan dua narasumber, yakni Peneliti Senior Pusat Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli dan Dosen Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) Sutoro Eko Yunanto.

Ketua Umum MIPI Drs. Bahtiar menyampaikan bahwa desentralisasi merupakan sesuatu hal yang penting untuk didiskusikan, mengingat wilayah Indonesia yang begitu luas dan budaya masyarakatnya yang begitu beragam.

“Sementara negara yang luas ini, ilmuan juga mengatakan, para pakar, yaitu desentralisasi atau otonomi daerah sesuatu yang mutlak untuk sebuah bangsa yang sangat beragam seperti ini dengan wilayah luas, tidak mungkin semua diurus dari Jakarta,” kata Bahtiar.

Bahtiar mengatakan, masyarakat sudah selayaknya menerima pemikiran baru mengenai otonomi daerah dan tidak terjebak dengan pemikiran-pemikiran lama. Ia juga mendorong agar pola dan model hubungan antara pusat dan daerah perlu dikonstruksi ulang. Sebab, tiap wilayah memiliki dinamika dan perbedaannya masing-masing dan tidak bisa selalu berpusat pada Pulau Jawa.

“Jadi, misalnya orang Maluku Utara bisa gak sih langsung ekspor ke Filipina, kan dekat sekali. Atau ada gak sih jalur penerbangan dari Manila langsung ke Ternate? Hari ini kan nggak ada. Tetap harus ke Jakarta dulu, ke Bali dulu, baru muter lagi ke utara,” tuturnya.

Ia pun mendorong agar otonomi daerah benar-benar dilaksanakan dan tidak hanya sebagai desentralisasi yang sifatnya administrastif saja. Ia juga mendorong agar para bakal calon presiden yang akan bertarung di Pilpres 2024 dapat mewacanakan hal tersebut.

“Mungkin MIPI di tahun 2024 harus membuat sebuah rumusan alternatif kalau perlu menyampaikan kepada presiden terpilih kemudian parlemen terpilih tentang pembangunan sistem yang kira-kira bisa menggerakkan kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah,” pungkas Bahtiar.

Diskusi pun dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh narasumber pertama. Dalam pemaparannya, Peneliti Senior Pusat Politik BRIN Lili Romli menyampaikan otonomi daerah harus diimplementasikan secara asimetris.

Ia menjelaskan, asimetris yang dimaksud itu yakni memperluas kewenangan untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan maupun sumber daya ekonomi. Sebaliknya, beberapa daerah yang tidak mampu melaksanakan kewenangan itu, maka kewenangannya tidak untuk diberikan sepenuhnya.

“Jadi tidak diseragamkan. Contohnya daerah-daerah di Jawa. Relatif secara ekonomi mampu, SDM-nya mampu, dan beberapa kewenangan memang harus diberikan,” ujar Lili Romli.

Ia juga menyoroti sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai bagian dari otonomi dan demokratisasi daerah. Menurutnya, sistem Pilkada yang berlaku saat ini perlu dilakukan pembenahan.

Sebab, lanjut Lili, salah satu faktor munculnya berbagai masalah seperti maraknya dinasti politik, maraknya calon tunggal, politik mahar atau vote buying, dan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, karena sistem Pilkada yang belum optimal.

“Seperti kita ketahui bahwa pemilihan kepala daerah langsung ini memang kita berikan apresiasi sebagai bagian dari peningkatan demokratisasi di tingkat lokal. Tetapi, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa Pilkada itu melahirkan banyak distorsi-distorsi yang menimbulkan kekecewaan,” beber Lili.

“Berdasarkan kajian-kajian, penelitian-penelitian, salah satu sumbernya (masalah) adalah dari sistem Pilkada itu sendiri. Oleh karena itu, sistem pemilihan ini juga perlu dilakukan penguatan, pembenahan, agar tujuan dari demokratisasi, desentralisasi politik itu tercapai,” sambung Lili.

Sementara itu, Dosen Ilmu Pemerintahan STPMD Sutoro Eko Yunanto menyebut kondisi tata kelola daerah saat ini bukan lagi mengacu pada istilah Indonesia sentris maupun Jawa sentris. Namun, lebih parah lagi, mengacu pada Jakarta sentris, atau kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Menurutnya, kondisi ini sama saja dengan kolonialisme.

“Ini namanya kolonialisme juga. Jadi kita ini dijebak. Mau ngomong pertanian pun juga begitu. Mau ngomong di Kalimantan Utara tentang tani, kelompok tani (mengatakan) ‘aduh, ini caranya orang Jawa dipakai di sini.’ Jangan lah,” kata Sutoro.

Ia menilai, desentralisasi yang berlaku saat ini mengalami kolonisasi. Sutoro menjelaskan, kolonisasi yang dimaksud itu yakni cara pandang yang dibentuk sejak zaman kolonialisme untuk memprioritaskan pembangunan di Jawa dan kota-kota besar karena dinilai dapat menguntungkan secara ekonomi bagi pusat.

“Kalau mau bangun di Papua, di pedalaman, di NTT, ‘wah rugi itu’. Itu akhirnya kan menciptakan ketidakadilan. Itu pendekatan yang prioritas,” ujar Sutoro.

Menurut Sutoro, pemerintah pusat semestinya memperoleh penghasilan dari pajak, sementara daerah memperoleh royalti dari sumber daya alamnya. Kemudian, daerah memberikan sumbangan kepada pusat untuk didistribusikan kepada daerah-daerah yang miskin sumber daya alam.

“Jadi ada kebanggaan bagi daerah, kebanggaannya itu karena nyumbang ke Indonesia. Bukan alamnya diambil oleh Jakarta, lalu daerah diberikan bagi melalui dana bagi hasil. Itu saya kira tidak menarik,” ujarnya.

“Jadi artinya kalau pelayanan publik itu harus sama di seluruh penjuru negeri harus ada sentralisasi pelayanan publik, terutama pada delivery dan access. Tetapi kalau sumber daya alam, itu harus kita pandang dari sudut daerah. Ini, kita baru adil nih. Kalau gak begitu ya gak akan ada keadilan,” pungkas Sutoro.

Baca juga: Kemendagri: Desentralisasi Jadi Strategi Pencapaian Tujuan Bernegara

Baca juga: Ketum MIPI: Perlu Edukasi Ilmu Pemerintahan Pada Publik

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

44  +    =  53