Opini

Anak Muda dan Terorisme

Oleh: Subkhi Ridho

Channel9.id-Jakarta. Terorisme merupakan realitas yang tidak terbantahkan sedang menghantui dunia global. Sejak tragedi 9/11, peledakan gedung gedung kembar WTC di Amerika Serikat, turut pula mengubah tatanan dunia global.

Dunia yang sebelumnya relatif tidak mengalami ancaman kehidupan begitu dahsyat, lantas muncul berbagai regulasi dari berbagai negara yang mengatur secara ketat lalu lintas masuk-keluarnya seseorang dari negara satu ke negara lainnya. Bahkan regulasi yang dibuat tersebut terkesan diskriminatif kepada warga negara yang berasal dari negara-negara kawasan Arab maupun yang berlatar belakang Muslim.

Pepatah mengatakan: “Tidak ada asap kalau tidak ada api”, hal ini berlaku atas lahirnya beberapa kebijakan yang terkesan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah AS, maupun beberapa negara Eropa dalam masalah terorisme. Kesemua itu dibuat dalam rangka melindungi warga negaranya masing-masing dari ancaman terorisme global yang menjadi ancaman paling riil dan serius bagi stabilitas keamanan nasional dan internasional, di masa kini dan mendatang, -demikian mengutip A.M. Hendropriyono.

Tak terkecuali di Indonesia. Peledakan bom di kawasan Kuta Bali pada tahun 2003, yang menewaskan ratusan turis mancanegara, peledakan hotel J. Marriot dan Ritz Carlton pada 2009 telah membuktikan bahwa ancaman terorisme itu riil adanya dan bukan sekadar imajinasi tanpa bukti.  Hingga muncul kasus-kasus yang terjadi dua tahun terakhir; peledakan bom di mal Sarinah, Jakarta, pada 14 Januari 2016;  penyerangan terhadap tiga polisi yang sedang bertugas, Banten, 20 Oktober 2016  pada pagi hari, meledaknya bom bunuh diri di dekat terminal Kampung Melayu Jakarta, 24 Mei 2017; penyerangan terhadap dua polisi anggota Brimob di Jakarta Selatan Juni 2017, semakin membukakan mata kita semua bahwa ancaman terorisme bukanlah isapan jempol belaka dan dapat menimpa siapa pun, termasuk aparat keamanan.

Terorisme tidaklah muncul secara tiba-tiba dan tanpa alasan. Di sinilah perlunya kita mencari akar permasalahan sehingga mudah untuk menemukan solusi terhadap peristiwa-peristiwa terorisme yang muncul di sekitar kita.  Siapakah para pelaku aksi teror tersebut? Alasan-alasan apa yang membuat kelompok teroris tersebut melakukan tindakan keji tersebut? 

Pertanyaan-pertanyaan ini perlu diketahui untuk mencari tahu cara penanganannya yang tepat. Pada kasus penyerangan polisi yang terjadi dua tahun belakangan, diketahui para penyerangnya berusia belasan tahun dan awal dan akhir 20an. Mereka anak-anak muda. Mengapa anak muda melakukan aksi teror? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Dalam hal ini menurut hemat saya, pertama, selain alasan ideologis-berdasarkan ajaran keyakinan keagamaan yang keliru, kedua karena juga  minimnya ruang publik yang diperuntukkan bagi aktifitas anak-anak muda di kota-kota besar di Indonesia. Sangat jarang kita menjumpai fasilitas publik yang  dibuat oleh pemerintah dan dapat digunakan secara gratis tanpa perlu mengeluarkan biaya mahal. Ketiga, minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia sehingga dapat menyalurkan energi anak muda yang berlebih tersebut.

Setelah ditelusuri di beberapa kasus, mereka bekerja secara serabutan dengan penghasilan tidak menentu, sehingga tidak ada kepastian untuk masa depan mereka. Di sinilah rentannya kelompok muda, ketika ditemui oleh kelompok-kelompok teroris maka dengan mudahnya cuci otak dapat dilakukan kepada anak-anak muda tersebut. 

Di kalangan anak-anak muda hari ini, muncul pandangan keagamaan keislaman sebagai berikut:

Kelompok pertama adalah mereka yang mengarah pada kategori soft radicalism, yaitu kelompok yang memahami ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan jihad, dakwah, amr ma’ruf nahy munkar, dengan tujuan pada formalisasi syariat dalam bernegara. Wujudnya adalah tuntutan perda-perda syariah atau bernuansa agama (Islam).

Sementara itu kelompok kedua yaitu kelompok hard radicalism, yaitu mereka yang membaca dan memaknai al-Quran dengan tujuan melakukan tindak kekerasan, berupa teror, bahkan melakukan pengeboman pun dibolehkan.   

Saat ini muncul halaqah-halaqah tidak berbentuk yang lahir dan ditemukan di kalangan anak muda, di sekolah maupun kampus-kampus negeri terkemuka yang sedikit banyak memuat benih-benih radikalisme yang ujungnya terorisme, meskipun bukti bahwa kelompok terdidik tersebut melakukan aksi teror itu masih sedikit. Akan tetapi sikap diam mereka terhadap berbagai aksi teror yang terjadi dan justru membuat alasan-alasan konspiratif yang menganggap aksi teror adalah buatan atau pengalihan isu dan seterusnya, hemat saya hal ini merupakan sesuatu yang di luar akal sehat sebagai manusia. 

Bagaimana para pemuda berperan dalam pencegahan terorisme? Saya kira tidak dapat dilakukan sendiri oleh mereka. Di sinilah perlunya berbagai stake holder dalam upaya pencegahan terorisme semestinya melibatkan anak-anak muda untuk secara aktif dalam aktifitas maupun program pencegahan terorisme global. Belum lagi ditambah dengan keberadaan media baru, munculnya media sosial yang demikian masif yang digemari anak-anak muda, penting untuk dilakukan pemetaan dan pelibatan anak-anak muda dalam pemanfaatan media baru tersebut. 

Akun-akun media sosial, seperti instagram, line, misalnya, yang saat ini sangat ngehits di kalangan anak muda perlu untuk dimaksimalkan dalam upaya penanganan terorisme.  Ujaran-ujaran maupun ajaran-jaran kebaikan sudah semestinya diviralkan oleh akun-akun media sosial yang dilakukan secara terprogram, sistematis, dan secara kontinyu. Sehingga akan banyak muncul anak-anak muda yang memiliki rujukan bagi pencarian identitas diri yang masih sangat menggelora. 

Pelibatan anak muda juga dapat dilakukan pertemuan-pertemuan berskala menengah hingga besar, seperti camping media, atau aktifitas sejenisnya yang menjadikan mereka dapat dipertemukan dalam sebuah arena khusus kalangan mereka. Di mana forum tersebut dapat dijadikan tempat sebagai arena sharing gagasan, ide, adu kreatifitas, dan lahirnya gagasan baru tentang bagaimana mimpi mereka di masa depan. Arena yang mempertemukan dari berbagai daerah, asal, etnis, agama, penting saya kira dilakukan sehingga memperluas pertemanan dan networking. Sehingga anak-anak muda tidak merasa sendirian dalam menghadapi segala permasalahan dan dinamika kehidupan di masa muda. 

Pemerintah maupun stake holder lain, seperti entitas bisnis misalnya, hemat saya perlu memfasilitasi kesemua itu secara intens, masif di berbagai level, mulai anak-anak SMP, SMA, mahasiswa dan usia sebaya mereka. Termasuk stake holder lain, seperti karang taruna, pramuka, juga perlu diajak duduk bersama untuk menyibukkan anak-anak muda hari ini, generasi millenial, dan Z dengan berbagai aktifitas yang membuat energi kaum muda tersalurkan secara tepat dan produktif. Wallahu a’lam bishshawab.

*Aktivis Muda Muhammadyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9  +  1  =