Channel9.id, Jakarta – Para ekonom mengkritik Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akan mulai berlaku 1 Januari 2025. Di saat bersamaan, pemerintah justru bakal mengampuni orang kaya lewat undang-undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Moneter Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengungkap kenaikan PPN 12 persen ini menjadi ironi di tengah konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2024, yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 53,08%, hanya mampu tumbuh 4,91%, lebih rendah dari laju pertumbuhan kuartal II-2024 sebesar 4,93%. Kuartal I-2024 pun hanya tumbuh 4,91%.
Dia mengatakan, kondisi ini membuat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2024 hanya mampu tumbuh 4,95%, lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II-2024 yang sebesar 5,11% maupun kuartal I-2024 yang tumbuh 5,05%, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS).
“Jadi memang angka-angka yang dikeluarkan BPS itu cukup mengkonfirmasi analisis kita terkait penurunan daya beli,” kata dia, dikutip Kamis (21/11/2024).
Menurutnya masyarakat kelas menengah bawah kini sebetulnya tengah dalam masalah tekanan daya beli, akibat pendapatannya yang tak mampu mengimbangi kenaikan inflasi.
“Tercermin dari laju konsumsi rumah tangga yang bahkan sudah tiga kuartal tak lagi mampu tumbuh di atas 5% membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia lajunya makin pelan,” ujarnya.
Dengan naiknya PPN pada 2025 sebesar 12% sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), menurut Telisa akan semakin memberatkan daya beli masyarakat ke depan, dan berpotensi semain melemahkan laju konsumsi rumah tangga.
“Nah ini memang harus diwaspadai makanya harus hati-hati sekali dengan kebijakan PPN nanti ke depannya karena dikhawatirkan daya beli masyarakat ke depan akan semakin tertekan,” tegasnya.
Adapun, tax amnesty memang biasanya dimanfaatkan oleh para wajib pajak yang memiliki penghasilan tinggi, baik itu konglomerat atau crazy rich. Dalam program tax amnesty jilid II 2022 misalnya, terdapat 11 orang super kaya alias crazy rich tak bayar pajak yang mendapat pengampunan dari pemerintah. Harta mereka di atas Rp 1 triliun.
“Sebenarnya ini dua hal yang berbeda, tapi karena sama-sama terkait pajak dan melibatkan dua golongan masyarakat dengan strata pendapatan berbeda, pada akhirnya seolah saling terkait dan menguntungkan satu pihak alias menjadi tidak adil,” kata Ekonom dari Universtias Diponegoro Wahyu Widodo, Rabu (20/11/2024)
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun mengakui munculnya usulan untuk memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 bersifat dadakan.
“Tiba-tiba Baleg itu memasukkan dalam Prolegnas long list,” kata dia di kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kota Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).
Misbakhun mengatakan Komisi XI baru mengetahui adanya usulan itu ketika sedang menggelar rapat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Senin (18/11/2024) malam. Di hari yang sama, Baleg sedang menggelar rapat kerja dengan perwakilan pemerintah mengenai Prolegnas Prioritas ini.
“Tiba-tiba diberitahu oleh anggota Komisi XI yang ada di Baleg, bahwa ada Prolegnas, dan di long list itu ada tax amnesty,” kata dia.
Mengetahui tentang itu, Misbakhun mengatakan Komisi XI kemudian mengambil inisiatif menjadi pengusul RUU tersebut. Menurut dia, Komisi XI dirasa lebih tepat menjadi pengusul karena memiliki pengalaman membahas mengenai pengampunan pajak dalam tax amnesty yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya.
“Kalau kemudian mau dijadikan prolegnas prioritas, maka sebagai Ketua Komisi XI yang selama ini bermitra dengan Menteri Keuangan, yang di dalamnya itu ada Direktorat Jenderal Pajak, maka Komisi XI berinisiatif untuk kemudian mengusulkan itu menjadi prioritas di 2025,” kata dia.