Oleh: Alan Yazid*
Channel9.id-Jakarta. Pembentukan bullion bank (bank bulion) merupakan langkah strategis dalam mendukung hilirisasi emas serta memperkuat sektor keuangan nasional. Pada 26 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto meresmikan dua bank bulion pertama di Indonesia, yaitu Pegadaian (anak perusahaan Bank Rakyat Indonesia) dan Bank Syariah Indonesia. Kebijakan ini dapat menjaga cadangan emas tetap berada di dalam negeri dan mengoptimalkan rantai pasok emas nasional.
Sebagai lembaga jasa keuangan, bank bulion juga dapat menyediakan layanan perbankan berbasis emas, termasuk simpanan emas, pembiayaan emas, perdagangan emas, dan penitipan emas. Selain itu, bank ini juga bisa menjadi bentuk implementasi Gold Bullion Funding (GBF), sebagai alternatif mengatasi masalah fluktuasi mata uang dalam pembiayaan pembangunan di Indonesia.
Modal awal yang diperlukan untuk mendirikan bank bulion di Indonesia ditetapkan sebesar minimal Rp 14 triliun (sekitar US$ 850 juta). Nantinya, bank bulion di Indonesia akan bergabung dengan LBMA (The London Bullion Market Association), bersama 85 anggota penuh, 78 afiliasi, dan 11 market maker dari 26 negara. LBMA akan membantu mendefinisikan bullion bank. Anggotanya beragam, termasuk bank-bank besar seperti Citibank, JP Morgan, Standard Chartered, dan HSBC, yang berperan sebagai market maker dalam pasar bulion.
Mengingat konsep bank bulion masih relatif baru di Indonesia, penerapannya harus dilakukan dengan kehati-hatian tinggi untuk menghindari potensi risiko yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. Manajemen risiko dalam Bullion Bank menjadi aspek krusial yang membedakannya dengan bank umum dan bank syariah. Risiko utama yang dihadapi Bullion Bank meliputi volatilitas harga emas, risiko likuiditas, risiko regulasi, serta ancaman teknologi, dan lingkungan.
Perbedaan mendasar antara Bullion Bank dengan bank konvensional terletak pada aset utama yang dikelola, yakni emas, yang memiliki karakteristik unik dalam hal fluktuasi harga dan mekanisme perdagangan global. Bank umum mengelola dana berbasis mata uang dan kredit, sementara bank syariah beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah yang menghindari riba dan spekulasi. Di sisi lain, Bullion Bank menghadapi tantangan tersendiri dalam menjaga keseimbangan antara ketersediaan emas fisik dan permintaan pasar.
Menurut Pramesti Supatmojo (2023), dalam jurnalnya “Implementation of Gold Bullion Funding as Alternative Instruments to Overcome the Problem of Currency Fluctuation“, penggunaan mekanisme pendanaan berbasis emas dapat menjadi solusi dalam menghadapi fluktuasi nilai mata uang. Namun, untuk mengoptimalkan sistem ini, diperlukan regulasi yang ketat serta sistem pengawasan yang efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna memastikan kepatuhan terhadap aturan perbankan dan pasar emas.
Salah satu tantangan utama dalam manajemen risiko Bullion Bank adalah volatilitas harga emas. Menurut Goldman Sachs (2023), harga emas diperkirakan akan tetap kuat dalam beberapa tahun mendatang, didukung oleh permintaan investasi yang berkelanjutan dan ketidakpastian ekonomi global. Namun, Bank of America (2023) memperkirakan bahwa harga emas akan menghadapi tekanan dari kenaikan suku bunga dan penguatan dolar AS.
Maka, prospek harga emas ke depan masih dibayangi oleh ketidakpastian. Namun, dengan perannya sebagai aset safe-haven dan lindung nilai terhadap inflasi, emas diperkirakan akan tetap menjadi pilihan investasi yang menarik bagi banyak investor. Yang jelas, harga emas dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global, inflasi, kebijakan moneter, serta permintaan dan penawaran di pasar internasional.
Untuk mengatasi risiko ini, bank bulion harus menerapkan strategi lindung nilai (hedging) dengan menggunakan instrumen derivatif seperti kontrak berjangka (futures) atau opsi (options) pada bursa komoditas. Dengan demikian, bank dapat mengurangi potensi kerugian akibat perubahan harga emas yang tiba-tiba.
Selain itu, risiko likuiditas juga menjadi perhatian utama dalam operasional Bullion Bank. Tidak seperti uang tunai yang dapat dengan mudah digunakan untuk transaksi, emas memerlukan proses likuidasi sebelum dapat dikonversi menjadi dana segar. Oleh karena itu, Bullion Bank harus memiliki cadangan likuiditas yang cukup serta sistem manajemen kas yang efisien untuk mengantisipasi permintaan pencairan dari nasabah.
Dalam laporan IFG Progress (2023), disebutkan bahwa salah satu strategi manajemen risiko likuiditas adalah dengan membentuk pasar sekunder yang aktif bagi produk investasi berbasis emas. Dengan begitu, nasabah lebih mudah melepas asetnya tanpa mengganggu stabilitas keuangan bank.
Dari aspek regulasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Bulion dalam upaya menciptakan ekosistem yang aman dan terpercaya. Peraturan ini memberikan pedoman bagi pelaku jasa keuangan melaksanakan kegiatan usaha bulion, termasuk persyaratan perizinan, penerapan prinsip kehati-hatian, tata kelola perusahaan yang baik, manajemen risiko, serta program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Regulasi ini bertujuan untuk mencegah potensi penyalahgunaan, pencucian uang, dan praktik spekulatif yang dapat merugikan stabilitas ekonomi nasional.
Tantangan Teknologi dan Lingkungan
Selain risiko ekonomi dan regulasi, bank bulion juga menghadapi tantangan dalam aspek teknologi. Sistem informasi dan platform perdagangan online yang andal diperlukan untuk memfasilitasi transaksi dan memberikan layanan yang efisien. Risiko keamanan siber dan gangguan sistem harus dikelola dengan serius untuk melindungi data dan aset bank. Digitalisasi Bank bullion juga perlu mengadopsi teknologi blockchain untuk menciptakan sistem pencatatan transaksi yang aman dan transparan.
Penggunaan teknologi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional tetapi juga memperkuat kepercayaan nasabah terhadap keamanan dana mereka. LBMA, dalam publikasi “Good Delivery Rules: Compliance and Risk Management” (2022) menekankan pentingnya standar kepatuhan dalam perdagangan emas untuk menghindari praktik ilegal serta memastikan transparansi dalam rantai pasok emas global.
Operasional bank bulion juga harus memperhatikan dampak ekologis dari industri pertambangan emas. Eksploitasi emas yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, termasuk deforestasi, pencemaran air, dan degradasi lahan. Oleh karena itu, Bullion Bank perlu menerapkan kebijakan keberlanjutan dengan hanya menerima emas dari sumber yang memiliki sertifikasi ramah lingkungan, seperti yang disyaratkan dalam skema Responsible Gold Mining Principles (RGMP) yang diadopsi oleh LBMA.
Langkah ini penting untuk memastikan bahwa industri perbankan emas di Indonesia tidak hanya menguntungkan dari segi ekonomi tetapi juga berkontribusi dalam perlindungan lingkungan. Bank bulion perlu memastikan bahwa emas yang mereka transaksikan berasal dari sumber yang etis dan berkelanjutan.
Dengan segala tantangan itu, penerapan manajemen risiko dalam Bullion Bank merupakan langkah krusial untuk memastikan keberlanjutan dan stabilitas operasionalnya di Indonesia. Dengan mengadopsi strategi mitigasi risiko yang komprehensif, termasuk hedging terhadap fluktuasi harga emas, pengelolaan likuiditas yang baik, kepatuhan terhadap regulasi ketat, serta penerapan teknologi dan kebijakan lingkungan yang bertanggung jawab, Bullion Bank dapat berperan sebagai game changer dalam sektor keuangan nasional, sekaligus membangun ekosistem yang aman, transparan, dan berkelanjutan di Indonesia.
Baca juga: (Video) Presiden Prabowo Resmikan Bank Emas Pertama di Indonesia
*Ketua Indonesia Risk Professional Association (IRPA), GRC Expert, Mahasiswa Doktoral Perbanas Insititute
Risiko Transportasi Emas jg kritikal krn sistem jual beli nya yg riil, terkait RGMP di Indonesia akan cukup menjadi kendala krn ada tambang rakyat yg hasil nya diserap bumn, serta aturan rinci pojk nya belum ada. Anyway, terima kasih Bu Dewi, artikel nya menambah informasi.