Channel9.id – Jakarta. Delapan organisasi masyarakat sipil bersama sejumlah warga terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) menggugat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan uji materi tersebut diajukan pada Jumat (4/7/2025).
Gugatan ini menyoroti pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang memberikan legitimasi terhadap kemudahan dan percepatan PSN. Para pemohon menilai ketentuan tersebut telah menimbulkan kerusakan lingkungan, penggusuran paksa, serta kriminalisasi terhadap warga negara.
“Permohonan ini secara khusus mempersoalkan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang memberikan legitimasi hukum terhadap kemudahan dan percepatan PSN—yang justru telah terbukti menimbulkan kerusakan lingkungan, penggusuran paksa, dan kriminalisasi terhadap warga negara,” ujar Staf Advokasi YLBHI, Edy Kurniawan, dalam siaran pers Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) PSN, Jumat (4/7/2025).
Permohonan ini juga menyebutkan bahwa sejumlah ketentuan dalam UU tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam UUD 1945. Skema PSN dianggap menjadi alat untuk melegitimasi pelanggaran hukum dalam sejumlah proyek besar di Indonesia.
“Dalam praktiknya, skema PSN telah menjadi sarana legitimasi pelanggaran hukum: proyek-proyek seperti Rempang Eco City, reklamasi PIK 2, food estate di Papua, dan pengembangan Ibu Kota Nusantara (IKN) dijalankan dengan mengabaikan hak atas tanah, hak atas pangan dan gizi, partisipasi publik, serta keberlanjutan ekosistem,” tutur Edy.
Secara hukum, permohonan ini menguji konstitusionalitas pasal-pasal yang menjadikan PSN sebagai kategori istimewa yang dapat menghindari regulasi tertentu. Ketentuan tersebut dinilai melanggar prinsip due process of law dan menghilangkan jaminan hukum atas ruang hidup.
“Ketentuan tersebut dianggap melanggar prinsip due process of law karena mengaburkan standar hukum perlindungan lingkungan dan menghilangkan jaminan hak atas ruang hidup,” kata Edy.
Lebih lanjut, para pemohon juga mengkritik penyusunan daftar PSN yang dinilai elitis dan tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna. Percepatan proyek dinilai hanya menjadi alasan untuk mengesampingkan prinsip kehati-hatian ekologis dalam pembangunan nasional.
“Penyusunan daftar PSN tidak melibatkan partisipasi rakyat secara bermakna dan tidak tunduk pada uji kebutuhan publik yang objektif. Percepatan proyek semata dijadikan dalih untuk mengesampingkan prinsip kehati-hatian ekologis (precautionary principle), yang seharusnya menjadi dasar utama dalam kebijakan pembangunan nasional,” ujar Edy.
Delapan organisasi yang menjadi pemohon dalam gugatan ini adalah YLBHI, WALHI, JATAM, Trend Asia, Pantau Gambut, Yayasan Auriga Nusantara, KIARA, dan FIAN Indonesia. Gugatan juga diajukan oleh warga terdampak dari berbagai wilayah, termasuk Rempang, Merauke, Sepaku, dan Konawe.
“Selain warga terdampak, salah satu pemohon individu adalah Dr. Muhammad Busyro Muqoddas, akademisi dan Ketua PP Muhammadiyah Bidang HAM, Hukum, dan Kebijakan Publik,” tambah Edy.
Para pemohon berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengoreksi arah pembangunan yang cenderung mengabaikan hak warga dan lingkungan atas nama investasi. Mereka menekankan bahwa pembangunan nasional tidak boleh berlangsung tanpa batas hukum dan jaminan HAM.
“Judicial review ini diharapkan menjadi momen korektif terhadap arah pembangunan yang meminggirkan warga dan mengorbankan lingkungan atas nama investasi dan proyek strategis,” kata Edy.
HT