Opini

Jejak Pajak dari Zaman Kolonial: Dari Paksaan ke Kesadaran

Oleh: Eva Riana Rusdi

Channel9.id – Jakarta.  Setiap 14 Juli, Indonesia memperingati Hari Pajak Nasional sebagai momentum refleksi tentang peran pajak dalam pembangunan bangsa. Namun, di balik perayaan ini tersimpan jejak sejarah panjang yang menjelaskan mengapa persepsi masyarakat terhadap pajak masih kerap negatif.

Perjalanan pajak di Indonesia dari masa kerajaan hingga era modern mencerminkan transformasi dari sistem paksaan menuju kesadaran kolektif yang masih terus diperjuangkan.

Dari Upeti hingga Sistem Kolonial

Konsep pajak di Nusantara sebenarnya telah ada sejak era kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Sriwijaya. Pada masa itu, pajak berbentuk upeti—pemberian wajib dari rakyat kepada raja sebagai bentuk pengabdian dan perlindungan. Sistem ini bersifat tradisional dengan ikatan moral yang kuat antara penguasa dan rakyat.

Perubahan drastis terjadi ketika VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) mulai menguasai wilayah Nusantara pada abad ke-17. Pajak yang semula bersifat simbolis berubah menjadi instrumen eksploitasi ekonomi yang sistematis. VOC memperkenalkan berbagai jenis pajak baru: pajak tanah, pajak perdagangan, bahkan pajak untuk hasil bumi yang dipaksa disetor dengan harga yang ditentukan sepihak.

Puncak eksploitasi terjadi pada masa Hindia Belanda dengan diterapkannya sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada 1830. Rakyat dipaksa menanam komoditas ekspor seperti kopi, teh, dan indigo di seperlima tanah mereka. Hasil panen harus disetor kepada pemerintah kolonial tanpa kompensasi yang layak. Sistem ini bukan hanya pajak, tetapi kerja paksa yang menyengsarakan jutaan petani Jawa.

Warisan Trauma Kolektif

Pengalaman pahit selama berabad-abad ini meninggalkan trauma kolektif yang mendalam. Pajak diasosiasikan dengan penindasan, penderitaan, dan ketidakadilan. Cerita-cerita tentang petani yang kehilangan tanah karena tidak mampu membayar pajak, atau keluarga yang terpisah akibat kerja paksa, diwariskan turun-temurun melalui tradisi lisan.

Trauma ini diperkuat oleh kenyataan bahwa hasil pajak selama masa kolonial tidak kembali untuk kesejahteraan rakyat pribumi. Sebaliknya, pajak digunakan untuk membiayai kemewahan para pejabat kolonial dan dikirim ke negeri Belanda. Rakyat hanya merasakan beban tanpa menikmati manfaat pembangunan.

Pasca kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan besar mengubah paradigma pajak dari beban kolonial menjadi kewajiban kewarganegaraan. Meski sistem pajak telah direformasi dengan prinsip keadilan dan transparansi, persepsi negatif masih mengakar kuat.

Survei-survei menunjukkan bahwa banyak warga masih melihat pajak sebagai “dipungut” bukan “dibayar”. Perbedaan semantik ini mencerminkan perbedaan mendasar dalam perspektif: pajak sebagai sesuatu yang diambil paksa versus kontribusi sukarela untuk kepentingan bersama.

Ketidakpercayaan ini diperparah oleh kasus-kasus korupsi yang melibatkan uang pajak. Ketika masyarakat melihat pajak yang mereka bayar disalahgunakan untuk memperkaya oknum pejabat, memori kolektif tentang eksploitasi masa lalu kembali terpicu.

Membangun Kepercayaan Publik

Transformasi citra pajak memerlukan pendekatan holistik yang mengakui realitas sejarah sambil membangun masa depan yang lebih baik. Pertama, transparansi penggunaan dana pajak harus ditingkatkan. Rakyat berhak mengetahui bagaimana setiap rupiah pajak digunakan untuk pembangunan.

Kedua, pelayanan publik yang berkualitas harus menjadi wujud nyata dari pajak yang dibayar. Jalan yang mulus, sekolah yang layak, dan rumah sakit yang memadai adalah “return on investment” yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.

Ketiga, edukasi pajak harus menyentuh aspek sejarah dan emosional, bukan hanya teknis. Masyarakat perlu memahami bahwa pajak hari ini berbeda fundamental dengan pajak masa kolonial—dari segi tujuan, proses, dan pertanggungjawaban.

Menuju Kesadaran Kolektif

Hari Pajak Nasional seharusnya menjadi momen untuk mengakui bahwa perjalanan dari paksaan ke kesadaran masih berlangsung. Mengubah persepsi yang telah mengakar selama berabad-abad tidak bisa dilakukan dalam semalam. Diperlukan komitmen jangka panjang dari pemerintah untuk membuktikan bahwa pajak benar-benar untuk rakyat, oleh rakyat, dan kepada rakyat.

Hanya dengan membangun kepercayaan yang otentik, Indonesia dapat melepaskan diri dari bayang-bayang trauma pajak kolonial dan mewujudkan sistem perpajakan yang benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat. Pajak bukan lagi beban warisan kolonial, tetapi investasi kolektif untuk masa depan yang lebih sejahtera.

Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia – Rafflesia Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  41  =  44