*Oleh: Rudi Andries
Channel9.id-Jakarta. Ketika mendengar istilah Corporate Social Responsibility (CSR), publik seharusnya membayangkan bentuk nyata dari komitmen perusahaan terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan. Namun, realitas di lapangan memperlihatkan bahwa CSR di Indonesia masih banyak tampil sebagai gincu reputasi, bukan sebagai jalan sunyi menuju tanggung jawab sosial sejati.
Sepanjang periode 2021–2023, dilaporkan bahwa dana CSR yang dihimpun mencapai angka fantastis: Rp 9,3 triliun. Rinciannya: Rp 3,048 triliun (2021), Rp 3,435 triliun (2022), dan Rp 2,824 triliun (2023). Namun yang menjadi pertanyaan kritis adalah: ke mana sebenarnya dana sebesar ini mengalir? Siapa yang paling diuntungkan?
Dana Besar, Dampak Kecil
Alih-alih memberdayakan komunitas marjinal, masyarakat adat, atau wilayah tertinggal yang membutuhkan investasi sosial jangka panjang, banyak program CSR justru berpusat di perkotaan — menyasar kegiatan publikasi, seminar, atau kegiatan seremonial yang dapat dikemas secara estetis demi citra perusahaan.
Tak jarang pula, CSR hanya digunakan sebagai alat pemasaran terselubung: membagikan bantuan dengan logo besar, membangun fasilitas publik dengan syarat eksklusif, atau membiayai kegiatan “sosial” yang sebenarnya mendukung penjualan produk.
Yayasan-yayasan Elitis dari CSR Bebas Pajak
Tren baru yang cukup mencemaskan adalah penggunaan dana CSR untuk mendirikan yayasan pendidikan tinggi oleh korporasi besar. Meskipun diklaim sebagai bentuk komitmen terhadap pendidikan, banyak dari lembaga ini justru menetapkan biaya pendidikan yang tinggi dan beroperasi secara elitis.
Lebih problematik lagi, dana CSR yang digunakan seringkali bebas pajak, namun yayasan tersebut menghasilkan pendapatan dari mahasiswa tanpa dikenakan kewajiban fiskal sepadan. Di titik inilah CSR menjadi paradoks: uang yang seharusnya digunakan untuk memperkecil kesenjangan sosial justru memperlebar jurang ketimpangan.
CSR Tanpa Standar, Tanpa Akuntabilitas
Tidak ada national guideline yang mengikat terkait efektivitas dan keberpihakan CSR di Indonesia. Pemerintah hanya mendorong secara normatif, sementara pengawasan publik nyaris absen. Banyak lembaga mitra pelaksana program CSR mengeluhkan bahwa dana yang diterima hanya cukup untuk menutup biaya administrasi, bukan menjalankan program berdampak jangka panjang.
Jalan Reformasi CSR
Reformasi CSR bukanlah gagasan radikal. Ini tuntutan etis dan konstitusional. Beberapa langkah nyata yang harus dipertimbangkan antara lain:
- Redefinisi CSR sebagai “investasi sosial berdampak” — bukan sekadar pengeluaran filantropi, melainkan instrumen pembangunan manusia dan penguatan komunitas.
- Audit sosial tahunan atas dana CSR, termasuk transparansi penerima manfaat dan wilayah intervensi.
- Kewajiban pelaporan publik (open data) atas semua program CSR, dan penalti bagi penyimpangan.
- Pajak progresif atas yayasan CSR yang menghasilkan pendapatan komersial.
Dari Gimik ke Tanggung Jawab Sejati
CSR bukan sekadar kewajiban etika; ia bagian dari kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat. Perusahaan mendapatkan keuntungan dari eksploitasi sumber daya dan pasar publik. Sudah semestinya mereka mengembalikan sebagian keuntungan itu dalam bentuk program jangka panjang yang adil, inklusif, dan terukur dampaknya.
“Bukan seberapa besar dana CSR dikeluarkan, tapi seberapa dalam luka sosial bisa disembuhkan.”
Kini saatnya membongkar ilusi filantropi korporat dan menyerukan reformasi total terhadap praktik CSR di Indonesia — agar tanggung jawab sosial tak lagi menjadi topeng, melainkan fondasi peradaban ekonomi yang berkeadilan.
Baca juga: SDGs Indonesia: Sudah di Jalur yang Benar, Tapi Butuh Akselerasi dan Keberanian
*Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial / Inisiator Forum CSR untuk Kesejahteraan Sosial