Channel9.id, Jakarta – Sektor manufaktur Indonesia masih terjebak dalam tren pelemahan. Berdasarkan laporan S&P Global, indeks manufaktur (PMI) Indonesia tercatat di angka 49,2 pada Juli 2025—masih berada di zona kontraksi meski sedikit membaik dari bulan sebelumnya (46,9).
Dengan capaian ini, sektor manufaktur nasional telah mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut sejak April 2025. Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, menyebutkan bahwa penurunan kinerja disebabkan oleh melemahnya output dan terus turunnya permintaan baru, termasuk dari pasar ekspor.
“Perusahaan sedang dalam fase retrenchment. Ada pengurangan tenaga kerja, pembelian bahan baku, serta pesanan baru yang lemah, baik domestik maupun luar negeri,” ujar Usamah dalam laporan resminya, Jumat (1/8/2025).
Tak hanya tekanan dari sisi permintaan, pelaku industri juga menghadapi lonjakan harga bahan baku serta fluktuasi nilai tukar, yang menyebabkan inflasi biaya tertinggi dalam empat bulan terakhir. Walau sebagian beban ini diteruskan ke konsumen melalui kenaikan harga jual, kepercayaan pelaku usaha terhadap prospek masa depan justru menurun drastis pada Juli—menjadi yang terendah dalam catatan survei.
S&P Global mencatat survei dilakukan pada 10–24 Juli 2025, sebelum pengumuman perjanjian dagang dengan Amerika Serikat. Meski sempat ada harapan dari proyek-proyek baru, secara umum pasar masih menunjukkan penurunan permintaan, baik dari dalam negeri maupun ekspor.
Kondisi ini berdampak langsung pada turunnya aktivitas pembelian, penyusutan stok bahan baku, serta pengurangan tenaga kerja. Banyak perusahaan memilih menggunakan stok barang jadi untuk memenuhi pesanan, yang mengakibatkan penurunan persediaan produksi selama empat bulan terakhir.
Di sisi lain, waktu pengiriman bahan baku juga kembali terganggu—disebabkan kombinasi keterlambatan logistik dan ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Gangguan ini semakin menambah tekanan terhadap pasokan input.
Sejak Desember 2019, produsen Indonesia konsisten mencatat kenaikan harga input. Pada Juli 2025, inflasi biaya mencapai level tertinggi sejak Maret. Faktor utama pendorong adalah kenaikan harga bahan baku serta pelemahan nilai tukar yang mengerek harga barang impor.
Meski pelaku usaha tetap berusaha menyesuaikan harga jual di tingkat pabrik, inflasi output secara keseluruhan masih dalam batas sedang. Ke depan, sebagian produsen berharap perbaikan ekonomi dan penurunan harga bahan baku bisa terjadi. Namun, kekhawatiran terhadap tarif ekspor dari AS dan lemahnya daya beli tetap membayangi proyeksi mereka.