Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Pemerintah menargetkan arah pembangunan nasional 2025–2029 menuju tujuan ambisius: menghapus kemiskinan ekstrem sepenuhnya pada akhir periode RPJMN. Visi ini tidak hanya menyasar pengurangan angka statistik, melainkan transformasi menyeluruh dari ketergantungan sosial menuju kemandirian dan pemberdayaan masyarakat.
Target utamanya adalah menurunkan angka kemiskinan umum dari 9,36% (tahun 2023) menjadi 4,5–5% pada 2029. Lebih drastis lagi, kemiskinan ekstrem ditargetkan berada pada titik nol. Untuk mencapai hal itu, akurasi penyaluran bantuan sosial ditingkatkan dari yang saat ini baru sekitar 42%, menjadi minimal 70%. Di sisi lain, strategi graduasi masyarakat—dari penerima bantuan menjadi individu yang mandiri dan berdaya—diterapkan berbasis data dan teknologi digital.
Transformasi menuju zero poverty didukung oleh penguatan empat platform utama. Pertama adalah Graduasi Sosial, yaitu upaya sistematis mendorong masyarakat keluar dari ketergantungan terhadap bantuan dan masuk ke dalam proses pemberdayaan ekonomi. Kedua, pemerintah mempercepat integrasi antara program sosial dan ekonomi, agar keduanya saling menopang dan tidak berjalan sendiri-sendiri.
Platform ketiga adalah penguatan digitalisasi dan data terpadu. Dalam hal ini, Regsosek (Registrasi Sosial Ekonomi) berperan sebagai basis data nasional, sementara SEPAKAT (Sistem Perencanaan, Penganggaran, Analisis, dan Monitoring Evaluasi Kemiskinan Terpadu) menjadi alat bantu perencanaan dan evaluasi yang lebih presisi. Seluruh pendekatan ini diikat oleh kerangka Satu Data Indonesia (SDI) untuk memastikan keakuratan data dan mendorong kolaborasi lintas sektor.
Meski arah strategi sudah jelas, tantangan implementasi tetap besar. Akurasi penyaluran bantuan sosial masih rendah, dengan hanya sekitar 42% yang tepat sasaran hingga tahun 2025. Banyak program yang tumpang tindih atau tidak saling melengkapi, menandakan lemahnya integrasi kebijakan.
Literasi publik terhadap mekanisme perlindungan sosial juga masih terbatas, sehingga banyak masyarakat belum memahami hak, akses, maupun mekanisme partisipasi dalam program-program tersebut. Selain itu, pendanaan pemberdayaan masyarakat masih sangat tergantung pada APBN, dengan kontribusi dari sektor non-pemerintah belum optimal.
Di sinilah peluang besar terbuka bagi sektor swasta melalui CSR (Corporate Social Responsibility) atau TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan). Dunia usaha, bersama DNIKS (Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial), dapat mengambil peran penting dalam mengisi celah pendanaan dan inovasi sosial yang belum terjangkau pemerintah.
Kontribusi CSR dapat diarahkan pada beberapa bentuk. Misalnya, pengembangan Skema Graduasi Komunitas Mandiri untuk desa, komunitas nelayan, disabilitas, hingga pekerja informal. CSR juga bisa memperkuat program pemberdayaan lokal berbasis UMKM, pertanian, kelautan, dan kegiatan sosial.
Lebih jauh lagi, pendanaan inovatif melalui CSR seperti trust fund, dana abadi sosial, dan co-financing bantuan sosial dapat menjadi alternatif pembiayaan yang fleksibel dan berkelanjutan. Dunia usaha juga diharapkan terlibat dalam pemanfaatan Regsosek dan SEPAKAT serta mendorong edukasi sosial di tingkat akar rumput.
Untuk mendorong peran aktif dunia usaha, DNIKS menyusun beberapa rekomendasi. Pertama, pembentukan Forum CSR Nasional untuk Graduasi Sosial, sebagai wadah koordinasi lintas BUMN dan swasta dalam mendukung transisi dari bansos ke pemberdayaan. Kedua, pengembangan CSR for Zero Poverty Dashboard, yakni platform pemantauan kontribusi dunia usaha terhadap target RPJMN.
Ketiga, kemitraan dengan daerah melalui proyek percontohan CSR berbasis data Regsosek, untuk memastikan program menyasar rumah tangga rentan secara tepat. Keempat, peningkatan literasi dan partisipasi masyarakat dalam desain program sosial. Dan terakhir, pemberian insentif bagi perusahaan pelopor, baik dalam bentuk pengakuan fiskal, peningkatan reputasi, maupun rating ESG (Environmental, Social, and Governance).
RPJMN 2025–2029 bukan sekadar soal mengejar nol persen kemiskinan ekstrem, tetapi tentang bagaimana membangun jalan keluar yang bermartabat bagi masyarakat: dari ketergantungan menuju kemandirian, dari penerima bantuan menuju pemberdayaan.
Dalam proses ini, CSR Indonesia punya posisi strategis sebagai katalisator perubahan sosial.
“Tanpa CSR, negara akan berjalan lebih lambat. Tapi dengan CSR yang terarah, kita bisa menghapus kemiskinan ekstrem bersama—lebih cepat, lebih adil.”
*Wakil Ketua Umum DNIKS