Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Di tangan petani kecil di desa-desa Nusantara, limbah sekam padi, pelepah sawit, atau tempurung kelapa kerap berakhir sebagai asap tipis yang lenyap di udara. Namun di laboratorium dan pusat riset, bahan buangan itu sedang disulap menjadi “emas hitam” baru: biochar. Arang aktif yang dihasilkan dari proses pirolisis biomassa ini diyakini mampu menjawab dua tantangan sekaligus: meningkatkan produktivitas pertanian dan menekan laju pemanasan global.
Prospek biochar di Indonesia terbilang cerah. Negeri ini punya limpahan biomassa dari sektor pertanian, kehutanan, dan perkebunan yang jumlahnya tak tertandingi. Dari data proyeksi, pasar biochar nasional diperkirakan akan mencapai 81,83 juta dolar AS pada 2032 dengan pertumbuhan tahunan 26,35 persen. Secara volume, itu setara 700 ribu ton per tahun. Tak heran bila sejumlah pengusaha besar, seperti Hashim Djojohadikusumo, mulai melirik biochar sebagai jalur “emisi negatif” yang bisa menorehkan nilai hingga 9 miliar dolar AS dari pengelolaan limbah pertanian dan kehutanan.
Dukungan pemerintah pun mulai tampak. Pada Agustus 2025, PT Sang Hyang Seri, anak usaha BUMN ID FOOD, meneken nota kesepahaman dengan Asosiasi Biochar Indonesia Internasional (ABII) untuk mengembangkan pemanfaatan biochar di sektor pertanian berkelanjutan. Komitmen ini sejalan dengan target Indonesia mencapai netral karbon pada 2030, seiring kewajiban global membatasi pemanasan bumi di angka 1,5 derajat Celsius.
Manfaat biochar tidak hanya berputar di meja rapat atau pasar karbon internasional. Di sawah padi, biochar terbukti meningkatkan kesuburan tanah sekaligus mengurangi pelepasan gas rumah kaca. Di perkebunan kelapa atau sawit, biochar memberi peluang baru bagi petani untuk menambah pendapatan dari limbah yang sebelumnya tak bernilai. Hitungan sederhananya, setiap sepuluh ton biomassa yang diproses setara dengan upaya menanam lima puluh pohon untuk menyerap karbon.
Namun jalan menuju biochar sebagai pilar ekonomi hijau Indonesia tidak tanpa rintangan. Literasi petani tentang teknologi ini masih rendah, sementara logistik distribusi mesin pirolisis ke pelosok Nusantara tidaklah mudah. Biaya investasi awal juga menjadi kendala, terutama bagi kelompok tani kecil. Lebih jauh, ada risiko besar jika konsep energi biomassa hanya menjadi tempelan hijau di balik industri kotor. Program co-firing biomassa pada PLTU, misalnya, jika tidak dikelola dengan benar justru berpotensi menambah emisi dan menelan lahan hutan jutaan hektar.
Karena itu, biochar hanya bisa menjadi game-changer bila strategi pembangunan diarahkan ke jalur yang benar: riset dan inovasi lokal yang kuat, regulasi ketat agar tidak memicu deforestasi, serta insentif bagi petani kecil untuk ikut serta. Jika eksekusi berjalan tepat, Indonesia bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga menembus pasar global yang diprediksi bernilai 792,49 juta dolar AS pada 2032.
Beberapa Produsen Reaktor Biochar di China (data 2025)
- Zhengzhou Dingli New Energy Technology: Spesialis mesin biochar besar, fokus efisiensi dan low emission. Sering disebut sebagai salah satu leader.
- Mingjie Group: Punya mesin continuous charcoal/biochar, instalasi di China, kapasitas besar, dan inovasi terbaru 2025.
- Guanma Machinery: Dikenal sebagai “best charcoal making machine supplier” di China, dengan teknologi non-smoke dan custom solution.
- Jiutian Technology Machinery: Tawarin retort kiln/biochar stove 2025 model, non-smoke, dan murah untuk skala kecil-sedang.
- Shandong Anyang Machinery: Fokus scalable high-capacity, bagus buat pasar ekspor.
- Lainnya: Sanjin Brand (99% carbonization rate, mudah operasi), JZQ Heavy Industry (warranty panjang, ISO-certified).
Bara hitam itu kini menyala sebagai harapan baru. Biochar bisa menjadi tonggak transisi energi, pintu masuk ekonomi hijau, dan jalan bagi Indonesia untuk memenuhi janji Paris Agreement. Tapi bara itu juga bisa padam bila hanya dikejar sebagai komoditas sesaat. Pilihannya ada di tangan kita: menjadikan biochar sekadar arang, atau menyalakan masa depan yang lebih hijau.
Baca juga: Pajak, Kepercayaan, dan Masa Depan Bangsa
*Wakil Ketua Umum DNIKS