Oleh: Arcandra Tahar*
Channel9.id-Jakarta. Menteri Energi Amerika Serikat (AS) membentuk panel ahli untuk mereview apa yang menjadi isu hangat terkait dengan perubahan iklim. Tulisan ini bukan untuk menimbulkan pro dan kontra terhadap isu perubahan iklim. Bukan juga untuk mengubah pandangan dari sahabat energi. Tapi lebih kepada untuk menyadarkan kita semua bahwa negara besar seperti Amerika Serikat yang selama ini menjadi tulang punggung dalam mengatasi isu perubahan iklim bisa berubah pikiran. Paling tidak untuk 3.5 tahun ke depan selama Presiden Trump memerintah. Atau mungkin juga diadopsi menjadi platform Partai Republik kedepannya.
Dalam tulisan ini, kami akan membahas apa saja isu perubahan iklim yang perlu mendapat perhatian semua pihak. Data-data terbaru dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini akan dianalisa menggunakan laporan dari panel ahli ke Menteri Energi AS, Chris Wright.
Seperti yang kita tahu, tahun 2025 ini konsentrasi CO2 di atmosphere adalah sekitar 430 ppm (part per million) dan diperkirakan naik sekitar 2 ppm pertahun. Sampai akhir abad ini kalau tidak ada upaya untuk mengurangi emisi CO2 maka konsentrasi CO2 akan menjadi sekitar 580 ppm.
Seberapa berbahayakah manusia dengan konsentrasi CO2 sekitar 580 ppm? Menurut para ahli angka ini masih jauh dibawah ambang batas yang diperbolehkan untuk manusia. Kalau menggunakan standar dari the Occupational Safety and Health Administration (OSHA), manusia masih bisa hidup kalau terekspose CO2 dengan kadar 5000 ppm selama 8 jam.
Kembali kepada laporan dari panel ahli, apa saja data-data ilmiah yang menjadi tinjauan kritis mereka terhadap isu perubahan iklim. Pertama, panel ahli percaya bahwa CO2 justru membuat bumi lebih hijau. Naiknya konsentrasi CO2 di udara mengakibatkan tanaman tumbuh lebih cepat lewat proses photosintesa yang lebih baik dan penggunaan air (water) yang lebih efisien. Hal ini tidak saja didukung oleh data-data dari hasil percobaan, tetapi juga dari data satelit yang memperlihatkan telah terjadi global greening (penghijauan global) di daratan.
Dengan menggunakan data satelit pada kurun waktu tahun 1982 sampai 2011 terlihat bahwa bumi lebih hijau sekitar 25%-50%. Dan yang mencengangkan, lebih dari 70% penghijauan bumi ini disebabkan oleh meningkatnya kadar CO2 di udara dan sisanya dari kegiatan manusia yang melakukan penanaman kembali di wilayah yang gersang.
Para ahli ini mengatakan bahwa CO2 punya efek seperti pupuk untuk tanaman (CO2 fertilization effects) dan selama ini belum dimasukan dalam pemodelan global untuk menghitung dampal sosial dan ekonomi akibat naiknya kadar CO2 di atmosfer.
Yang paling krusial adalah benefit dari meningkatnya CO2 terhadap hasil pertanian dan perkebunan yang belum masuk sebagai faktor utama dalam pemodelan. Untuk itu panel ahli menyarankan agar model-model yang ada sekarang untuk diperbaiki.
Bagaimana pendapat dari the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menjadi rujukan yang sangat dipercaya oleh banyak pihak sebagai bagian dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Report ke-6 dari IPCC yang diterbitkan tahun 2023 hanya sedikit menyinggung tentang global greening dan CO2 fertilization. Dalam laporan tersebut, IPCC mengakui telah terjadi global greening tapi belum confident mengenai berapa besarnya. Jadi secara garis besar tinjauan kritis dari kementerian energi Amerika Serikat sejalan dengan laporan yang dibuat oleh IPCC.
Tinjauan kritis kedua dari Kementerian energi AS adalah daratan dan lautan mampu menyerap sekitar 50% kelebihan emisi CO2 dari kegiatan manusia secara natural. Artinya alam sudah bekerja dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia untuk menyerap kelebihan emisi CO2.
Panel ahli sepakat bahwa CO2 dan GRK yang lain telah mengakibatkan naiknya suhu rata-rata bumi dibandingkan dengan masa revolusi industri 1.0. Hal ini diperparah oleh terganggunya fungsi aerosol yang mampu mendinginkan atmosfer. Untuk itu, pemodelan yang dibuat untuk memperkirakan berapa naiknya suhu bumi pada akhir abad ini tidak cukup hanya dengan memasukan kenaikan CO2 tapi juga harus memasukan efek pendinginan dari aerosol.
Aerosol merupakan campuran partikel padat atau tetesan cair di udara. Aerosol bisa berasal dari alami seperti debu, asap kebakaran hutan, garam laut atau buatan manusia seperti asap industri, emisi kendaraan. Aerosol bisa memantulkan cahaya matahari sehingga memberi efek pendinginan pada bumi.
Pertanyaan dari panel ahli selanjutnya adalah seberapa akurat efek pemanasan dan pendinginan dimasukkan dalam pemodelan iklim yang memperkirakan kenaikan suhu bumi pada akhir abad ini? Kelihatannya efek ini belum dimasukan kedalam pemodelan secara numerik. Akibatnya, perkiraan akan kenaikan suhu bumi di lapisan atmosfer jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran lewat satelit dan balon udara.
Selain tidak memasukan efek pendinginan, hampir semua pemodelan untuk memperkirakan emisi CO2 dari tahun 1970 sampai 2018 juga memperlihatkan angka yang jauh lebih tinggi daripada data pengukuran (observed data). Perbedaan ini sudah disadari oleh IPCC.
Sayangnya menurut panel ahli dari Kementerian Energi AS, pemodelan yang tidak akurat ini tetap dipakai menjadi dasar bagi lembaga-lembaga dunia seperti IPCC untuk memberi warning kepada publik dan dunia usaha dalam merancang strategi mengurangi bahkan menghentikan pemakaian energi fosil secara drastis. Dengan situasi ini beberapa orang yang menyadari ketidakakuratan ini mengatakan komunitas riset dibidang perubahan iklim telah berubah menjadi science fiction.
**Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo
Baca juga: Lima Strategi Jepang dalam Membangun Keamanan Energi