Oleh: Yudi Latif*
Channel9.id-Jakarta. Saudaraku, kita hidup di bahtera negara yang limbung. Nahkoda dan awak kapal mabuk sambil mengigau, sementara para penumpang terjaga, tapi tak tahu harus menegakkan layar atau mengatur kemudi.
Di geladak atas, para elit menatap langit dengan teleskop statistik, menghitung bintang-bintang angka yang berkilau, meramu proyeksi dan indeks seolah bisa menuntun bahtera melewati badai menjadi tenang.
Mereka berpidato tentang pertumbuhan, efisiensi, kemajuan—kata-kata seperti musik orkestra di ruang kapten, padahal hanya gema kosong di dek kayu yang retak, dan asap harapan membumbung tanpa arah di atas kapal.
Di lorong sempit geladak, rakyat menatap dek yang lapuk, tong-tong air yang kosong, kabinnya rembes, dan mesin yang mencemari laut dengan asap beracun. Mereka tahu bintang-bintang angka itu hanyalah ilusi, tapi tak tahu cara mengemudikan kapal yang terombang-ambing di arus badai.
Mereka menunggu, berjalan di antara reruntuhan jangkar janji, dengan suara hati yang berbisik: “Apakah bahtera ini masih bisa menemukan arah?”
Dari pelayaran limbung yang tak tahu jalan keluar ini, mungkin menanti siklus badai yang memaksa amuk gelombang terjadi, atau ada tangan-tangan tersembunyi yang menolak melihat bahtera karam, menariknya kembali ke arus yang lempang. Atau, mungkin, nahkoda kapal segera tersadar—menarik bahtera keluar dari kegelapan laut, sambil menyalakan mercusuar di geladak yang bergoyang di tengah ombak.
Ya Tuhan, selamatkan kami. Lautan negeri ini luas, ombaknya ganas menerjang. Bahtera kami oleng, nahkoda dan awak kapal limbung alpa menuntun prosedur penyelamatan. Para penumpangnya tak tahu harus berbuat apa.
Atas berkat rahmat-Mu, bangsa ini berulang kali lolos dari kemelut sejarah. Kali ini pun, setelah munajat dan ikhtiar ditempuh, kami tawakal meyakini-Mu juru selamat. Kepada-Mu kami berserah diri, dan kepada-Mu kami memohon pertolongan. Amien!
Baca juga: Kurikulum Cinta
*Cendikiawan Muslim