Channel9.id, Jakarta – Puluhan ribu buruh dari berbagai penjuru negeri bersiap turun ke jalan pada Kamis, 28 Agustus 2025. Aksi nasional bertajuk HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah) ini digalang Partai Buruh bersama koalisi serikat pekerja, termasuk Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Di Jakarta, lebih dari 10 ribu buruh dari Karawang, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, hingga DKI akan memadati kawasan DPR RI dan Istana. Gelombang serupa juga akan bergulir di kota-kota industri besar—dari Surabaya, Semarang, Bandung, Batam, hingga Medan dan Makassar.
Menurut Said Iqbal, Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, melainkan momentum menyuarakan ketidakadilan yang semakin menganga: di saat pekerja berjuang dengan upah minimum, wakil rakyat justru hidup dalam kemewahan.
“Seorang anggota DPR bisa mengantongi total Rp154 juta per bulan, termasuk tunjangan rumah Rp50 juta. Artinya, mereka menikmati lebih dari Rp3 juta per hari,” tegas Iqbal.
Bandingkan dengan buruh kontrak atau outsourcing di Jakarta yang hanya mendapat sekitar Rp5 juta per bulan—sekitar Rp150 ribu per hari. Di lapisan bawah, pekerja koperasi dan yayasan bahkan hanya digaji Rp1,5 juta per bulan, setara Rp50 ribu per hari. Lebih miris lagi, pengemudi ojek online sering kali hanya mampu membawa pulang Rp600 ribu sebulan, alias Rp20 ribu per hari.
“Jurang kesenjangan ini nyata. Buruh dan rakyat kecil hidup dalam ketidakpastian, sementara DPR bergelimang fasilitas dan jaminan pensiun seumur hidup,” ujar Iqbal.
Dua Tuntutan Utama: Upah Layak dan Hapus Outsourcing
Gerakan HOSTUM membawa dua agenda pokok. Pertama, menolak upah murah dengan menuntut kenaikan upah minimum nasional sebesar 8,5–10,5% pada 2026. Perhitungan ini, kata Iqbal, sesuai formula resmi Mahkamah Konstitusi Nomor 168 yang mengacu pada inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.
Dengan inflasi diproyeksikan 3,26% dan pertumbuhan ekonomi 5,1–5,2%, buruh menilai kenaikan upah minimum tidak bisa lagi ditunda. Apalagi pemerintah sendiri mengklaim angka kemiskinan dan pengangguran menurun.
Kedua, menghapus praktik outsourcing. Meski Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa outsourcing hanya boleh untuk pekerjaan penunjang, praktik di lapangan justru makin meluas—bahkan di BUMN.
“Pekerjaan inti tidak boleh di-outsourcing. Pemerintah harus mencabut PP No. 35 Tahun 2021 yang melegalkan outsourcing secara luas,” tegas Iqbal.