Opini

Epistemologi TRISAKTI Bung Karno Dalam Perspektif Kenneth Gallagher

Oleh: Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS.

Channel9.id – Jakarta. Pemikiran atau ide Trisakti Bung Karno lahir pada awal 1960-an, dalam konteks politik internasional yang penuh ketegangan Perang Dingin serta realitas dalam negeri yang masih mencari bentuk pembangunan pasca-revolusi kemerdekaan. Indonesia saat itu menghadapi tekanan dari blok Barat dan blok Timur, ketergantungan ekonomi terhadap luar negeri, serta guncangan identitas akibat warisan kolonial.

Bung Karno melihat bahwa tanpa kedaulatan politik, Indonesia akan mudah dijadikan pion oleh kekuatan adidaya; tanpa kemandirian ekonomi, bangsa akan tetap miskin meski merdeka; dan tanpa kepribadian dalam kebudayaan, bangsa akan kehilangan jati dirinya. Oleh sebab itu, Trisakti muncul sebagai strategi ideologis untuk meneguhkan kedaulatan bangsa di tengah pusaran politik global.

Secara historis, Trisakti dipidatokan oleh Bung Karno pada 17 Agustus 1964, yang dikenal sebagai pidato “Tahun Berdikari”. Dalam pidatonya Bung Karno menegaskan: “Kita harus berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.” Ungkapan itu menjadi rumusan eksplisit Trisakti sebagai jalan revolusi Indonesia. Bung Karno menekankan bahwa kemerdekaan 1945 hanyalah pintu gerbang, dan tugas sesungguhnya adalah mengisi kemerdekaan dengan kekuatan politik, ekonomi, dan budaya yang berpihak pada rakyat. Trisakti, dengan demikian merupakan respons visioner Bung Karno terhadap tantangan zaman: membangun bangsa yang mandiri, kuat, dan bermartabat, agar Indonesia dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Gagasan besar Trisakti bukanlah sekadar rangkaian slogan retoris tanpa makna yang lahir di masa lampau. Ia adalah kristalisasi dari penjelmaan kesadaran historis bangsa Indonesia, hasil dari pergulatan panjang pemikiran seorang pemimpin besar Indonesia dengan realitas kolonialisme, imperialisme, keterjajahan, dan harapan masa depan. Trisakti bukan jargon kosong yang harus digantung di dinding-dinding birokrasi, melainkan sebuah horizon gagasan yang memuat nilai-nilai epistemologi, yakni cara bangsa Indonesia memahami dirinya, dunia, dan posisinya di antara bangsa lain.

Di titik inilah, menarik bila kita menelusuri Trisakti melalui lensa epistemologi Kenneth Gallagher. Seorang filsuf pengetahuan yang menekankan bahwa manusia – dan bangsa – selalu berada dalam horizon pengalaman yang terbuka, saling berhubungan, dan tak pernah final. Gallagher mengajarkan bahwa pengetahuan lahir dari kesadaran yang selalu berinteraksi dengan dunia nyata, tidak beku, dan tidak tertutup. Jika demikian, maka Trisakti bukanlah monumen ideologis, melainkan epistemologi praksis bangsa Indonesia. Ia adalah cara berpikir, cara merasakan, dan cara bertindak yang harus terus dihidupkan untuk kesejahteraan seluruh rakyat.

Struktur Gagasan Trisakti

Struktur Trisakti dapat dipahami sebagai bangunan tiga pilar yang sangat kokoh, yakni: politik, ekonomi, dan kebudayaan. Bung Karno merumuskan ketiganya sebagai satu kesatuan utuh (entitas), tidak terpisahkan, dan saling menopang atau interdependensi satu dengan lainnya. “Berdaulat dalam politik” menegaskan bahwa Indonesia harus menjadi subjek, bukan objek; “berdikari dalam ekonomi” mengingatkan bahwa tanpa kemandirian material, politik hanyalah kata-kata hampa; dan “berkepribadian dalam kebudayaan” menunjukkan bahwa identitas bangsa adalah fondasi paling dalam dari kedaulatan sebuah bangsa.

Dari perspektif Gallagher, struktur gagasan ini dapat disebut sebagai horizon kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Pengetahuan bangsa tentang dirinya tidak pernah lahir dalam ruang kosong, melainkan dalam konteks pergulatan sejarah: dijajah, dirampas, dipinggirkan, lalu bangkit. Struktur Trisakti bukanlah sekadar blueprint politik, melainkan hasil dari pengalaman kolektif yang ditafsirkan secara filosofis. Ia adalah sistem berpikir, sebuah perspektif yang mengintegrasikan tiga dimensi pokok kehidupan, sehingga bangsa Indonesia dapat berdiri tegak sebagai subjek yang berdaulat di hadapan dunia. Dengan Trisakti bangsa Indonesia memiliki harga diri dan dihargai oleh bangsa lain.

Isi Gagasan Trisakti

Lebih dalam dari hal itu, isi Trisakti mencerminkan muatan epistemologis yang kaya. Bung Karno tidak berbicara dalam ruang hampa, melainkan dari kesadaran bangsa yang terjajah dan tertindas. Isi Trisakti adalah isi pengalaman kolektif: kemerdekaan politik yang direbut dengan darah, kemandirian ekonomi yang diperjuangkan meski dibelenggu modal asing, serta kepribadian budaya yang dipertahankan di tengah arus globalisasi yang menggerus identitas budaya bangsa.

Kenneth Gallagher menekankan bahwa pengetahuan sejati lahir dari hubungan antara subjek dan dunia. Dalam konteks ini, isi Trisakti adalah pengetahuan yang lahir dari interaksi bangsa Indonesia dengan dunia kolonialisme dan kapitalisme global. Ia bukan sekadar cita-cita, tetapi refleksi dari pengalaman hidup sebuah bangsa yang berusaha menentukan nasibnya sendiri. Dengan begitu, isi Trisakti selalu hidup, selalu relevan, dan selalu terbuka untuk dimaknai ulang (remaining) sesuai tantangan zaman.

Relevansi Trisakti dalam Kehidupan Bernegara Saat Ini

Kini, hampir delapan dekade setelah proklamasi, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah: sejauh mana Trisakti masih berdenyut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia?. Faktanya, kedaulatan politik kita kerap goyah oleh intervensi asing, baik dalam bentuk tekanan geopolitik maupun dalam transaksi ekonomi-politik yang terselubung. Globalisasi sering kali memaksa bangsa ini tunduk pada logika pasar bebas, sementara elite politik sibuk memperdagangkan kekuasaan.

“Berdikari dalam ekonomi” justru semakin mendesak di era ketergantungan impor pangan, energi, dan teknologi. Apakah bangsa ini benar-benar mandiri, atau hanya menjadi pasar bagi produk-produk global?. Sementara itu, “berkepribadian dalam kebudayaan” menghadapi ujian berat di tengah gempuran budaya populer yang seragam, yang perlahan mengikis kearifan lokal dan identitas bangsa. Gallagher akan berkata, sebuah bangsa hanya bisa bertahan bila sadar akan horizon pengetahuannya – yaitu kesadaran siapa dirinya, dari mana ia datang, dan kemana ia hendak menuju.

Retorika Kebangkitan Trisakti

Inilah saatnya kita bertanya secara lebih retoris: maukah kita membiarkan Trisakti sekadar jadi bahan pidato seremonial belaka?. Ataukah kita berani menghidupkannya kembali sebagai dasar praksis politik, ekonomi, dan budaya bangsa di tengah gempuran nilai-nilai kaptalisme ini?. Kenneth Gallagher mengingatkan, pengetahuan bukanlah kata-kata yang dibekukan, tetapi pengalaman sadar yang terus bergerak untuk diimplementasikan secara riil. Jika demikian, maka Trisakti bukan warisan beku Bung Karno, melainkan tantangan yang terus memanggil kita hari ini untuk berbuat sesuatu.

Pemikiran Trisakti adalah jalan kebangkitan, bukan museum ide. Ia menuntut keberanian politik anak bangsa untuk menolak intervensi asing tanpa kompromi, keberanian ekonomi untuk mandiri dari ketergantungan impor, dan keberanian menunjukkan jati diri untuk tetap tegak di tengah arus globalisasi. Trisakti bukan slogan usang, melainkan epistemologi bangsa: sebuah cara kita memahami, menafsirkan, dan mengarahkan diri. Tanpa Trisakti, kita akan terombang-ambing di tengah arus globalisasi, kita akan menjadi penonton di negeri sendiri.

Kesimpulan

Dalam perspektif epistemologi Kenneth Gallagher, Trisakti Bung Karno dapat dibaca sebagai horizon pengetahuan yang menyatukan struktur, isi, dan relevansi gagasan dalam kesadaran bangsa. Gallagher menekankan bahwa pengetahuan selalu hidup, berakar pada pengalaman, dan terbuka pada dunia.

Maka, Trisakti adalah epistemologi praksis yang mengajarkan bangsa Indonesia untuk terus berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Ia bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan fondasi masa depan. Tugas kita adalah menghidupkan Trisakti, bukan mengawetkannya dalam kata-kata.

Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Mercu Buana, Peneliti dan Analis Komunikasi Politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

84  +    =  93