Oleh: Eva Riana Rusdi*
Channel9.id-Jakarta. Ketika kita membicarakan demokrasi Indonesia, tidak mungkin melewati satu institusi yang telah menjadi tulang punggung representasi rakyat selama lebih dari tujuh dekade: Dewan Perwakilan Rakyat. Dari gedung sederhana di Jakarta Pusat hingga kompleks megah di Senayan, DPR telah melewati perjalanan panjang yang penuh dinamika, mencerminkan pasang surut perjalanan bangsa Indonesia sendiri.
Lahir dari Semangat Kemerdekaan
Cikal bakal DPR sebenarnya sudah muncul sejak hari-hari pertama kemerdekaan Indonesia. Pada 29 Agustus 1945, hanya 12 hari setelah proklamasi, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dipimpin oleh Mr. Kasman Singodimedjo. KNIP inilah yang kemudian menjadi embrio parlemen Indonesia, meskipun pada awalnya hanya berfungsi sebagai badan penasehat presiden.
Perubahan penting terjadi pada 16 Oktober 1945 ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X. Melalui maklumat ini, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semula hanya berfungsi sebagai badan penasehat presiden diberi wewenang legislatif. Sejak saat itu, praktik ketatanegaraan Indonesia mulai bergeser dari sistem presidensial menuju sistem parlementer. Kabinet menjadi bertanggung jawab kepada KNIP, sehingga badan ini berperan layaknya parlemen yang dapat memberi kepercayaan maupun menarik dukungan terhadap kabinet. Inilah titik awal lahirnya tradisi parlementer dalam sejarah Indonesia.
Babak baru demokrasi Indonesia ditandai dengan Pemilu 1955, yang untuk pertama kalinya memberi kesempatan rakyat memilih wakil-wakilnya secara langsung. Pemilu ini, yang diakui dunia internasional sebagai salah satu yang paling demokratis di Asia pada masanya, melahirkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum. Empat partai besar mendominasi hasil pemilu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI, yang mencerminkan keberagaman ideologi politik di Indonesia pascakemerdekaan.
Selain memilih DPR, rakyat juga memilih anggota Konstituante, sebuah majelis yang ditugaskan menyusun undang-undang dasar baru sebagai pengganti UUD 1945 sementara. Namun, perdebatan ideologis yang berkepanjangan membuat Konstituante gagal menyelesaikan tugasnya. Kegagalan ini akhirnya berujung pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Meski demikian, pengalaman Konstituante menjadi bukti betapa seriusnya upaya bangsa Indonesia dalam membangun sistem demokrasi yang kokoh pada masa awal kemerdekaan.
DPR di Bawah Bayang-Bayang Otoritarianisme
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri era demokrasi liberal dan membuka babak baru yang kelam bagi institusi perwakilan rakyat. Melalui dekrit itu, Presiden Sukarno membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. DPR hasil Pemilu 1955 masih tetap ada sampai tahun 1960, namun setelah menolak rancangan APBN yang diajukan pemerintah, Sukarno kemudian membubarkannya dan menggantinya dengan DPR Gotong Royong, yang seluruh anggotanya ditunjuk langsung oleh presiden. Sejak saat itu, DPR kehilangan fungsi legislatifnya dan lebih berperan sebagai alat legitimasi kebijakan penguasa.
Situasi semakin memburuk di era Orde Baru. Meskipun secara formal DPR masih ada dan bahkan diadakan pemilu secara berkala, lembaga ini praktis menjadi “tukang stempel” kebijakan pemerintah. Dominasi Golkar yang didukung penuh oleh militer membuat DPR kehilangan fungsi pengawasan dan checks and balances terhadap eksekutif. Seperti yang dikritik oleh banyak pengamat politik, DPR pada masa ini lebih mirip “rubber stamp parliament” ketimbang wakil rakyat yang sesungguhnya.
Reformasi: Kebangkitan Kembali Wakil Rakyat
Jatuhnya Soeharto pada Mei 1998 membuka angin segar bagi kehidupan demokrasi Indonesia, termasuk bagi institusi DPR. Amandemen UUD 1945 yang dilakukan secara bertahap dari 1999 hingga 2002 memperkuat kembali posisi dan fungsi DPR sebagai lembaga legislatif yang independen.
Perubahan paling mendasar adalah penguatan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR. Jika sebelumnya DPR hanya bisa “mendengar” pidato pertanggungjawaban presiden, kini mereka memiliki hak untuk meminta keterangan, hak angket, bahkan hak untuk meminta pertanggungjawaban presiden melalui mekanisme impeachment.
Pemilu 1999 menjadi tonggak bersejarah. Untuk pertama kalinya setelah 44 tahun, rakyat Indonesia bisa memilih wakilnya secara bebas tanpa intervensi penguasa. Hasilnya? Lahirnya DPR yang benar-benar multipartai dengan 48 partai politik yang berhasil meraih kursi.
Tantangan Kontemporer: Antara Harapan dan Kenyataan
Memasuki era milenium ketiga, DPR menghadapi tantangan yang tidak kalah berat. Di satu sisi, institusi ini telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam menjalankan fungsinya. Berbagai undang-undang progresif telah dihasilkan, mulai dari UU KIP yang menjamin transparansi informasi publik, hingga berbagai undang-undang yang memperkuat perlindungan HAM.
Fungsi pengawasan DPR juga semakin menguat. Kita melihat bagaimana DPR berani menggunakan hak angket untuk membongkar berbagai kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kasus Bank Century, kasus Hambalang, hingga berbagai kasus korupsi lainnya menunjukkan bahwa DPR kini tidak lagi sekadar “tukang stempel” melainkan benar-benar menjalankan fungsi pengawasan.
Namun di sisi lain, berbagai kritik terus bermunculan. Survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga polling secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap DPR masih rendah. Isu korupsi anggota DPR, proses legislasi yang lamban, hingga kualitas produk legislasi yang masih dipertanyakan menjadi catatan merah yang harus segera diperbaiki.
Kontribusi yang Tidak Bisa Diabaikan
Meskipun banyak kritik yang dilayangkan, kontribusi DPR dalam perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam bidang legislasi, DPR telah menghasilkan ratusan undang-undang yang menjadi landasan hukum bagi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari UU Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah, hingga UU Tipikor yang menjadi senjata dalam pemberantasan korupsi.
Di bidang pengawasan, berbagai kasus besar telah berhasil dibongkar melalui mekanisme hak angket dan hak interpelasi DPR. Ini menunjukkan bahwa sistem checks and balances dalam demokrasi Indonesia mulai berfungsi dengan baik.
Yang tidak kalah penting adalah peran DPR dalam menjaga stabilitas politik nasional. Dalam berbagai momen krisis, mulai dari krisis ekonomi 1998, berbagai konflik horizontal di daerah, hingga pandemi COVID-19, DPR telah menunjukkan kemampuannya sebagai institusi yang menjembatani berbagai kepentingan dan meredam potensi konflik yang lebih besar.
Setelah hampir delapan dekade mengabdi, DPR RI kini berada di persimpangan jalan. Tuntutan publik akan kinerja yang lebih baik, transparansi yang lebih tinggi, dan kualitas legislasi yang lebih berkualitas semakin menguat. Era digital juga membawa tantangan baru dalam hal komunikasi publik dan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi.
Ke depan, DPR perlu terus berbenah, baik dari sisi internal maupun eksternal. Penguatan sistem rekrutmen, peningkatan kapasitas anggota, reformasi tata kelola internal, hingga pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi publik menjadi agenda yang tidak bisa ditunda lagi.
Perjalanan DPR RI memang tidak selalu mulus. Ada masa kelam ketika institusi ini kehilangan jati dirinya sebagai wakil rakyat, namun ada juga masa-masa cemerlang ketika lembaga ini menjadi pilar demokrasi yang kokoh. Yang terpenting adalah bagaimana DPR terus belajar dari sejarah, memperbaiki kekurangan, dan terus berupaya menjadi wakil rakyat yang benar-benar mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat Indonesia.
Sebagai institusi yang lahir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, DPR memiliki tanggung jawab historis untuk terus menjaga dan memperkuat demokrasi Indonesia. Masa depan bangsa Indonesia, dalam banyak hal, juga bergantung pada seberapa baik DPR menjalankan amanah konstitusi yang dipercayakan kepadanya.
Baca juga: Jejak Pajak dari Zaman Kolonial: Dari Paksaan ke Kesadaran
*Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia – Rafflesia Institute