oleh: ReO Fiksiwan*
Channel9.id-Jakarta. “Di sini aku bisa memerintah orang Belanda. Tapi di negeriku sendiri, aku hanya anak Hindia yang harus tunduk.” — Marco Kartodikromo(1890-1932), Student Hidjo(1918).
Genealogi gerakan mahasiswa Indonesia dari tahun 1974 hingga 1998 bukanlah sekadar rentetan aksi demonstrasi, melainkan refleksi panjang dari dinamika intelektual, politik, dan ideologis yang berakar sejak kelahiran kesadaran kebangsaan.
Jika Budi Utomo pada 1908 menandai awal kebangkitan kaum terpelajar, dan Sumpah Pemuda 1928 menjadi kristalisasi identitas nasional, maka gerakan mahasiswa pasca-kemerdekaan adalah kelanjutan dari semangat itu. Tentu, dengan bentuk yang lebih kompleks dan medan yang lebih keras.
Gerakan mahasiswa bukan hanya reaksi terhadap kekuasaan, tetapi juga upaya untuk membentuk ulang makna negara dan rakyat dalam lanskap kekuasaan yang terus berubah.
Malari 1974 adalah titik balik. Bersama tokoh fenomenalnya, Hariman Siregar(75), sebagai Ketua Dema UI, peristiwa Malari bukan hanya ledakan kemarahan terhadap dominasi modal asing dan ketimpangan sosial, tetapi juga peringatan bahwa negara sedang kehilangan arah dalam mengelola modernitas dengan waham kapitalisme.
Dengan sedikit mengacu pada Daniel Dhakidae(1945-2021) dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru(2003), gerakan mahasiswa saat itu adalah bentuk resistensi terhadap kooptasi intelektual oleh negara.
Mahasiswa menolak menjadi alat legitimasi kekuasaan dan memilih menjadi suara moral yang mengganggu kenyamanan elite.
Namun, setelah Malari, negara belajar: bukan dengan mendengar, tetapi dengan mengendalikan.
Maka lahirlah NKK/BKK, sebuah proyek depolitisasi kampus yang dibungkus dengan jargon netralitas akademik, tetapi sejatinya adalah pembungkaman sistematis terhadap ruang kritis.
Penataran P4, Wawasan Almamater hingga Mahasamra menjadi instrumen ideologis yang menyusup ke dalam kurikulum dan budaya kampus.
Mahasiswa diajarkan untuk mencintai negara, tetapi tidak diajarkan untuk bertanya tentang keadilan. Mereka diminta untuk loyal, tetapi tidak untuk berpikir.
Dalam konteks ini, artikel Indra J. Piliang (53) pada kanal Youtube Forum Keadilan — politikus, peneliti, dan penulis yang aktif dalam kajian politik, otonomi daerah, dan demokrasi di Indonesia, serta pernah menjadi peneliti di CSIS (Centre for Strategic and International Studies) — tentang Soemitro Djojohadikusumo dan Pergerakan Mahasiswa 1977–1988 perlu dibaca secara kritis.
Soemitro, sebagai teknokrat dan arsitek ekonomi Orde Baru, memang memiliki relasi kompleks dengan mahasiswa.
Namun, gerakan mahasiswa bukanlah ekstensi dari elite, melainkan entitas yang memiliki dinamika sendiri—kadang bersekutu, kadang berseberangan, tetapi selalu berusaha menjaga jarak dari kooptasi.
Yudi Latif (59) dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila(2011) menunjukkan bahwa negara Indonesia dibangun di atas fondasi etis dan spiritual yang menuntut partisipasi aktif warga dalam menjaga keadaban publik.
Mahasiswa, dalam hal ini, adalah penjaga gerbang moralitas politik. Ketika negara menjauh dari cita-cita proklamasi, mahasiswa hadir sebagai pengingat.
Dengan demikian, gerakan 1998 bukanlah ledakan spontan, tetapi akumulasi panjang dari frustrasi, pembungkaman, dan pencarian makna.
Ia adalah puncak dari genealogi perlawanan yang dimulai sejak Malari 1974 melewati era NKK/BKK 1980-an dan akhirnya meledak dalam reformasi 1998.
Sementara, Kelompok Studi Proklamasi yang digawangi Denny JA dan kawan-kawan dalam Mahasiswa dan Demokrasi(1984) menegaskan bahwa gerakan mahasiswa adalah laboratorium demokrasi.
Di sana, ide diuji, solidaritas dibangun, dan keberanian dilatih.
Mahasiswa dan Demokrasi ini lahir dari dinamika intelektual mahasiswa Universitas Indonesia pada era Orde Baru, sebagai respons terhadap pembungkaman politik kampus melalui kebijakan NKK/BKK dan penataran ideologi P4. Denny dan Indra, dua di antara alumni UI.
Juga, menjadi salah satu dokumen penting yang merekam semangat perlawanan intelektual generasi muda terhadap hegemoni negara, sekaligus menandai upaya membangun wacana demokrasi dari dalam ruang akademik yang sedang dikontrol ketat.
Selain itu, buku tipis sarat isi ini tidak hanya mencerminkan keberanian, tetapi juga kecerdasan kolektif mahasiswa dalam merumuskan arah baru bagi politik dan kebebasan berpikir di Indonesia.
Merujuk pada Cendekiawan dan Kekuasaan(1983) yang dieditori oleh Wiratmo Soekito(1929-2001), salah satu arsitek naskah Manifes Kebudayaan 1963, ikut menabalkan dimensi bahwa intelektual tidak bisa netral dalam situasi ketidakadilan.
Buku ini merupakan bunga rampai esai dan refleksi intelektual yang menggali hubungan kompleks antara kaum cendekiawan dan struktur kekuasaan di Indonesia, terutama dalam konteks politik, kebudayaan, dan ideologi negara pasca-Orde Lama dan sepanjang Orde Baru.
Selain itu, disoroti pula bagaimana para intelektual, seniman, akademisi, dan aktivis budaya berhadapan dengan tekanan negara, godaan kekuasaan, dan dilema moral dalam mempertahankan independensi pemikiran.
Mahasiswa sebagai cendekiawan muda harus memilih: menjadi bagian dari status quo atau menjadi pengganggu yang membangunkan kesadaran kolektif.
Genealogi ini bukan untuk dikenang, tetapi untuk dipelajari. Sebab sejarah tidak berulang, tetapi ia beresonansi.
Dalam era digital dan algoritma hari ini, bentuk perlawanan mungkin berubah, tetapi semangatnya tetap sama: mempertanyakan, menggugat, dan membangun ulang makna negara. Mahasiswa bukan hanya pewaris sejarah, tetapi juga penulis bab berikutnya.
Dan bab itu, seperti yang ditunjukkan oleh gerakan 74 hingga 98, selalu dimulai dari keberanian untuk berkata tidak!
- *Sastrawan
Baca juga: Soemitro Djojohadikusumo dalam Gerakan Mahasiswa 1977-1978