data ekspor
Ekbis

Dana Siluman Ekspor Indonesia Tembus Rp10.760 Triliun, Terbesar ke China dan Singapura

Channel9.id, Jakarta – Lembaga riset Next Indonesia Center menemukan adanya perbedaan signifikan dalam pencatatan nilai ekspor antara Indonesia dan sejumlah negara mitra dagangnya. Selisih tersebut, yang disebut sebagai illicit financial flows atau dana siluman, diperkirakan mencapai US$654,5 miliar atau setara Rp10.760 triliun (kurs Rp16.446 per dolar AS).

Direktur Eksekutif Next Indonesia, Christiantoko, menjelaskan bahwa praktik kecurangan dalam pencatatan ekspor (misinvoicing) menjadi penyebab utama. Ia merinci ada dua bentuk praktik yang terjadi:

Under invoicing, yaitu nilai atau volume ekspor yang dicatat di Indonesia lebih rendah dibandingkan data negara mitra. Sepanjang 2014–2023, selisihnya mencapai US$401,6 miliar atau sekitar US$40,2 miliar per tahun.

Over invoicing, yakni pencatatan ekspor Indonesia lebih besar dari data negara mitra. Dalam satu dekade terakhir, nilainya mencapai US$252,9 miliar atau sekitar US$25,3 miliar per tahun.

“Perbedaan pencatatan ini umumnya dilakukan untuk menghindari pajak dan cukai, melakukan pencucian uang, hingga menyembunyikan keuntungan di luar negeri,” ujar Christiantoko dalam keterangan tertulis, Rabu (10/9/2025).

Metode penghitungan yang digunakan Next Indonesia Center mengacu pada standar internasional dari Global Financial Integrity (GFI). Dari hasil penelusuran, under invoicing terbesar terjadi pada ekspor ke China dengan nilai US$53 miliar (Rp863 triliun) dalam periode 2014–2023. Angka tersebut setara 13,19% dari total selisih pencatatan ekspor Indonesia. Setelah China, negara dengan selisih terbesar adalah Singapura (US$46,4 miliar) dan Amerika Serikat (US$32,7 miliar).

Dari sisi komoditas, selisih pencatatan ekspor terbesar terdapat pada:

Limbah dan skrap logam mulia (HS 7112) senilai US$15,4 miliar

Minyak bumi (HS 2710) sebesar US$14,9 miliar

Batu bara (HS 2701) dengan nilai US$12,8 miliar

Sementara itu, pada praktik over invoicing, nilai tertinggi ditemukan dalam ekspor ke Singapura sebesar US$24,2 miliar. Disusul oleh Bangladesh (US$20,21 miliar) dan Malaysia (US$17,24 miliar). Secara total, nilai over invoicing ekspor Indonesia sepanjang 2014–2023 mencapai US$252,87 miliar atau Rp4.117,5 triliun.

“Dana tersebut bisa jadi saat ini dianggap sah karena dibungkus dalam transaksi perdagangan, padahal diperoleh melalui manipulasi faktur,” jelas Christiantoko. Ia menekankan, pemerintah harus serius menindaklanjuti temuan ini agar potensi penerimaan negara tidak terus hilang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

41  +    =  51