Oleh: Eva Riana Rusdi*
Channel9.id-Jakarta. Mengapa pulau-pulau kecil di Maluku dulu menjadi pusat perhatian dunia? Mengapa bangsa-bangsa Eropa rela menyeberangi samudra berbulan-bulan hanya untuk mencapai kepulauan yang kini mungkin tidak banyak dikenal orang? Jawabannya sederhana: rempah. Namun di balik itu ada cerita yang jauh lebih besar: laut sebagai jalan raya peradaban yang pernah menghubungkan Nusantara dengan dunia.
Hari Maritim Nasional yang kita peringati setiap tahun pada 23 September seharusnya tidak berhenti pada seremoni. Ia menjadi momentum untuk merefleksikan jati diri kita sebagai bangsa bahari. Indonesia bukan hanya negara kepulauan, melainkan lahir dari laut. Jalur rempah yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan Nusantara dengan Arab, India, Tiongkok, hingga Eropa bukan sekadar jalur perdagangan barang dagangan. Namun merupakan kisah diplomasi laut yang membentuk peradaban.
Laut sebagai Jalan Raya Peradaban
Sejak abad ke-7, jalur rempah telah menjadikan Nusantara simpul penting perdagangan regional dan internasional. Kerajaan Sriwijaya di Palembang menguasai Selat Malaka, menjadikannya pintu utama lalu lintas barang dari India dan Tiongkok. Pada abad ke-14, Majapahit mengembangkan armada laut yang menguasai perdagangan Asia Tenggara.
Dalam teori sistem dunia (world system theory), wilayah yang dianggap “pinggiran” bisa menjadi pusat jika mereka menguasai komoditas strategis. Nusantara adalah contoh nyata: rempah seperti pala, cengkeh, dan lada adalah barang mewah pada masa itu, bahkan disebut “emas hijau” karena nilainya melampaui emas. Kedatangan Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris ke kepulauan rempah bukan kebetulan, melainkan bagian dari perebutan jalur perdagangan yang menentukan nasib ekonomi global.
Kehadiran mereka menandai lahirnya kolonialisme yang mengubah tatanan sosial dan ekonomi Nusantara secara mendasar. Dari monopoli VOC hingga eksploitasi perkebunan kolonial, sejarah maritim ini memberi warisan panjang bagi struktur ekonomi Indonesia hingga kini.
Diplomasi Tanpa Duta Besar
Yang menarik dari era jalur rempah adalah praktik diplomasi maritim yang tidak membutuhkan negara-bangsa modern. Kerajaan-kerajaan Nusantara menggunakan laut sebagai ruang diplomasi yang dinamis. Pelabuhan seperti Aceh, Banten, Makassar, dan Ternate menjadi ruang negosiasi multikultural.
Antropolog James C. Scott menggambarkan bagaimana masyarakat maritim mengembangkan politik yang fleksibel. Alih-alih menekankan kontrol daratan, kekuatan laut Nusantara membangun aliansi yang cair tetapi efektif. Laut menjadi arena pertukaran barang, ide, teknologi, bahasa, dan agama.
Sultan Iskandar Muda di Aceh pernah menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Ottoman Turki. Raja-raja Maluku bersekutu dengan pedagang Arab dan Tiongkok. Diplomasi semacam ini praktis, tidak terikat protokol kaku, tetapi bertumpu pada kepentingan bersama dan pemahaman budaya lintas bangsa.
Relevansi di Era Kontemporer
Relevansi jalur rempah kini bukan hanya nostalgia. Laut Indonesia masih menjadi jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Asia Timur dengan Eropa dan Afrika. Selat Malaka, Selat Lombok, dan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah rute penting, dilalui oleh arus perdagangan global yang besar. Walau angka pastinya bervariasi dalam berbagai laporan, posisi strategis ini sudah cukup untuk menegaskan betapa vitalnya peran laut bagi perekonomian dunia.
Pemerintah mengusung konsep Blue Economy: pemanfaatan laut secara berkelanjutan untuk perikanan, energi, pariwisata, dan industri maritim. Potensinya sangat besar, mencapai ribuan triliun rupiah. Dalam konteks geopolitik Indo-Pasifik yang semakin rumit, posisi Indonesia juga penting sebagai negara dengan pengaruh sedang (middle power) yang dapat menjembatani ketegangan antara kekuatan besar.
Program Jalur Rempah yang diinisiasi Kemendikbudristek untuk diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia menunjukkan adanya kesadaran baru. Namun, tantangan sebenarnya bukan hanya di tingkat kebijakan, tetapi juga bagaimana mengubah cara pandang masyarakat yang selama ini lebih berorientasi daratan.
Menemukan Kembali Jati Diri Bahari
Paradoks Indonesia modern adalah melupakan laut di tengah potensinya yang luar biasa. Penangkapan ikan berlebih mengurangi stok ikan, pencemaran plastik dan limbah industri merusak ekosistem laut, sementara nelayan tradisional makin terdesak oleh industri besar.
Lebih mendasar lagi, diplomasi ekonomi kita masih bias daratan. Investasi infrastruktur lebih menekankan jalan raya dan rel kereta dibanding pelabuhan dan jalur laut. Padahal dalam dunia yang semakin terkoneksi, laut adalah penentu utama daya saing ekonomi dan politik.
Menghidupkan kembali semangat jalur rempah bukan berarti kembali ke masa lalu, melainkan memahami bahwa laut adalah DNA peradaban Indonesia. Diplomasi maritim modern harus menempatkan laut bukan hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sebagai fondasi identitas budaya bangsa.
Jika dulu dunia datang ke Nusantara karena rempah, mengapa kita justru melupakan laut hari ini? Hari Maritim Nasional seharusnya menjadi titik balik. Laut bukan halaman belakang rumah kita, melainkan jalan menuju masa depan.
Baca juga: Membaca Tuntutan 17+8 dari Perspektif Sosiologi Politik
*Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia – Rafflesia Institute