Nasional

Koalisi Sipil Kritik RUU KKS: Nihil Aspek Perlindungan Individu

Channel9.id – Jakarta. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure menilai Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) berpotensi mengancam demokrasi dan negara hukum.

Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar, mengatakan RUU KKS masih menekankan pendekatan state centric dengan mengedepankan kepentingan nasional. Padahal, aspek perlindungan individu sebagai bagian dari pendekatan human centric justru tidak tercantum dalam tujuan regulasi ini.

“Setiap ancaman dan serangan siber yang terjadi, pada akhirnya akan berdampak pada individu warga negara sebagai korbannya,” ujar Wahyudi dalam siaran pers, Jumat (3/10/2025).

Ia menjelaskan rancangan legislasi ini juga mencampuradukkan kebijakan keamanan siber dengan kejahatan siber. Pasal 58 hingga 64 memuat tindak pidana baru dengan ancaman pidana, termasuk pengaturan makar di ruang siber dengan ancaman penjara hingga 20 tahun.

“Legislasi keamanan siber seharusnya semata-mata menggambarkan pengimplementasian pendekatan teknis guna mengamankan suatu sistem komputer dari serangan dan kegagalan sistem,” kata Wahyudi Djafar.

Koalisi menyoroti keberadaan TNI dalam RUU KKS sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber. Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan TNI tidak memiliki fungsi penegakan hukum.

“Perumusan pasal ini kian menunjukkan semakin besarnya intervensi militer dalam kehidupan sipil, yang kian menciderai prinsip civilian supremacy dalam sistem hukum negara demokratis,” ucap Wahyudi Djafar.

Ia menambahkan, pasal tersebut menjadi indikasi menguatnya upaya militerisasi ruang siber sejak revisi UU TNI. Ketidakjelasan gradasi ancaman membuat militer bisa masuk ke seluruh tingkatan penanganan ancaman siber, tidak terbatas pada konflik siber.

“Pertahanan siber yang menjadi tugas TNI seharusnya lebih menekankan pada tindakan defensif untuk menghancurkan, meniadakan, atau mengurangi keefektifan ancaman terhadap pasukan dan aset,” tutur Wahyudi Djafar.

Koalisi juga menyoroti risiko abuse of power dalam penyidikan tindak pidana keamanan dan ketahanan siber oleh TNI. Belum adanya pembaruan UU Peradilan Militer membuat pelanggaran pidana yang dilakukan anggota TNI tetap diproses di peradilan militer.

“Pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum,” kata Wahyudi Djafar.

Sebagai informasi, pemerintah melalui Kementerian Hukum telah menyelesaikan proses penyusunan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Penyusunan RUU ini dilakukan pemerintah melalui Kementerian Hukum untuk diajukan ke DPR sebagai prioritas legislasi 2026.

RUU KKS tercatat diusulkan pada 19 November 2024. RUU tersebut masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025–2029.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  12  =  15