Channel9.id, Jakarta – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menyoroti adanya selisih besar antara data ekspor batu bara Indonesia dan data impor yang tercatat oleh negara mitra utama seperti India dan China. Ketidaksesuaian ini dinilai dapat menimbulkan potensi kebocoran besar terhadap penerimaan negara.
Dalam penjelasannya, Faisal mengungkapkan bahwa perbedaan data tersebut terlihat jelas dari hasil pencocokan antara data ekspor Indonesia dengan data impor di kedua negara. Untuk China, selisihnya relatif kecil, berkisar antara US$150 juta–US$160 juta pada 2024. Namun, untuk India, perbedaan nilainya jauh lebih signifikan.
“Yang cukup mengagetkan adalah selisih antara data ekspor kita ke India dan data impor yang dicatat India. Nilainya mencapai US$2,3 miliar pada 2024, bahkan pernah menyentuh US$3,8 miliar pada 2022,” ujar Faisal, Rabu (22/10/2025).
Menurutnya, metode data mirroring—atau pencocokan data ekspor dan impor antarnegara—selama ini digunakan pemerintah untuk mendeteksi potensi kebocoran dan aktivitas ilegal. Namun kini, ketidaksesuaian tersebut justru muncul pada komoditas ekspor strategis seperti batu bara.
Faisal menambahkan, jika data milik India dianggap lebih akurat, maka sekitar 26% ekspor batu bara Indonesia ke negara tersebut tidak tercatat di data resmi Indonesia. “Ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai akurasi pencatatan dan potensi kebocoran penerimaan negara,” tegasnya.
Dari simulasi perhitungannya, dengan asumsi tarif PPh 22 ekspor sebesar 1,5%, perbedaan data ekspor senilai US$3,8 miliar pada 2022 berpotensi menyebabkan kehilangan penerimaan negara sekitar US$57 juta atau hampir Rp1 triliun per tahun.
“Kalau dikonversi, hanya dari India saja potensi kehilangan pajak ekspor kita hampir Rp1 triliun per tahun. Itu baru dari satu negara, belum termasuk mitra dagang lain,” jelasnya.
Faisal menilai, fenomena ini bukan kejadian sesaat, melainkan berlangsung konsisten sejak 2015. “Kalau dilihat trennya, gap ini sudah muncul sejak 2015 sekitar US$800 juta, lalu terus naik hingga 2022, dan meski sedikit turun pada 2023–2024, nilainya tetap di atas US$2 miliar,” paparnya.
Temuan tersebut memperkuat urgensi reformasi tata kelola dan transparansi data ekspor minerba. Menurut Faisal, pemerintah perlu mempercepat penerapan sistem pencatatan digital yang terintegrasi lintas lembaga agar dapat di-cross check langsung dengan data negara mitra.
“Akurasi data menjadi kunci utama agar kebijakan fiskal dan pengawasan sektor batu bara lebih efektif. Sistem pencatatan digital harus diperkuat untuk menutup celah kebocoran penerimaan negara,” tutup Faisal.