Jusuf Kalla di lokasi sengketa lahan
Ekbis

JK Geram Lahan Miliknya Diklaim GMTD, Tantang Lippo di Pengadilan

Channel9.id, Jakarta. Sengketa lahan antara Kalla Group milik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), entitas yang terafiliasi dengan Lippo Group, kembali menyoroti kompleksitas persoalan kepemilikan tanah di Indonesia. Perseteruan ini tidak hanya mempertemukan dua kekuatan bisnis besar, tetapi juga menyingkap persoalan mendasar tentang transparansi dan kepastian hukum atas hak tanah.

Lahan seluas 16,4 hektare di kawasan Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar, yang selama tiga dekade terakhir dikuasai Kalla Group, kini menjadi objek sengketa setelah muncul klaim dari pihak lain yang disebut terkait dengan GMTD. Jusuf Kalla menegaskan bahwa tanah tersebut dibelinya secara sah dari ahli waris Raja Gowa pada awal 1990-an dan telah memiliki alas hak resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang diterbitkan pada 8 Juli 1996, serta diperpanjang hingga 24 September 2036.

“Ini tanah kami sendiri, tidak ada hubungan hukum dengan GMTD. Mereka menuntut dari pihak lain yang tidak pernah diketahui keberadaannya. Itu permainan yang tidak benar,” ujar JK dalam keterangan di Makassar, Kamis (6/11/2025).

JK juga mempertanyakan keabsahan rencana eksekusi lahan yang disebut dilakukan oleh GMTD. Ia menilai langkah tersebut tidak sah secara prosedural karena tidak melalui proses pengukuran dan verifikasi resmi dari BPN atau aparat wilayah setempat.

“Eksekusi harus didahului dengan pengukuran dan constatering. Mana orang BPN-nya, mana camatnya? Tidak ada semua,” tegasnya.

 

Kalla Group Ajukan Pembatalan Eksekusi

Sebelumnya, PT Hadji Kalla (Kalla Group) telah mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Makassar untuk membatalkan penetapan eksekusi lahan tersebut.

Kuasa hukum Kalla Group, Azis Tika, menyatakan bahwa kepemilikan atas lahan itu sah secara hukum, dibuktikan dengan empat sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 13,4 hektare dan akta pengalihan hak tambahan seluas 2,9 hektare.

“Hadji Kalla telah menguasai lahan itu sejak 1993 dan tidak pernah terputus hingga kini. Bahkan pada 2016 BPN telah memperpanjang HGB hingga 2036,” ujarnya.

Pihak Kalla juga mengaku telah menyiapkan lahan tersebut untuk proyek properti terintegrasi, namun kegiatan pembangunan terhambat setelah muncul klaim dan pemagaran sepihak oleh pihak GMTD.

Chief Legal & Sustainability Officer Kalla Group, Subhan Djaya Mappaturung, menyebut permohonan eksekusi yang diajukan GMTD justru didasarkan pada perkara lama antara GMTD dan pihak bernama Manyomballang Dg. Solong, yang tidak pernah memiliki kaitan dengan Kalla Group.

“Kami membeli tanah ini dari ahli waris Karaeng Ici’, bukan dari Manyomballang. Sertifikat kami tidak pernah digugat, tapi tiba-tiba tanah ini mau dieksekusi,” jelasnya.

Pernyataan Kalla Group turut diperkuat oleh Andi Idris Mangenrurung A. Idjo (Karaeng Ici’), yang mengaku sebagai ahli waris sah pemilik lahan awal. Ia menegaskan bahwa nama Manyomballang tidak memiliki hubungan keluarga atau hak atas lahan tersebut.

“Manyomballang bukan keluarga kami dan tidak pernah menguasai lahan itu. Saya menganggap ini terkait praktik mafia tanah karena eksekusi akan dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik sah,” ujarnya.

Kasus ini menjadi potret lain dari rumitnya tata kelola pertanahan di Indonesia, di mana celah hukum sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengambil keuntungan. Sengketa semacam ini tidak hanya melibatkan warga kecil, tetapi juga tokoh nasional dan perusahaan besar.

Bagi Jusuf Kalla, kasus ini menjadi peringatan bahwa kepastian hukum atas tanah masih rapuh, bahkan bagi pihak yang memiliki dokumen resmi sekalipun.

“Kita ini orang taat hukum. Mau sampai ke mana pun, kita siap melawan ketidakadilan. Aparat keadilan, berlaku adillah. Jangan dimain-mainkan,” tegas JK.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  36  =  40