Channel9.id, Jakarta. Penyegelan 250 ton beras impor oleh Kementerian Pertanian (Kementan) di Kawasan Sabang memicu perdebatan sengit antara pemerintah pusat dan daerah. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan langkah ini sebagai upaya menegakkan regulasi nasional untuk melindungi petani lokal dan stabilitas harga pangan di tingkat nasional, sementara Pemerintah Aceh membela impor tersebut sebagai solusi darurat untuk masyarakat setempat.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan melalui Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, pada Senin malam (24/11/2025), Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) menjelaskan bahwa proses pemasukan beras oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) sepenuhnya sesuai dengan aturan khusus kawasan perdagangan bebas.
“Semua dokumen dan mekanisme telah dilaporkan dan dipahami secara lengkap,” ujarnya dalam siaran pers. Namun, dari perspektif pusat, Kementan melihat impor ini berpotensi mengganggu kebijakan swasembada pangan nasional, terutama di tengah fluktuasi harga global.
Latar belakang utama impor ini adalah tingginya harga beras di Sabang, yang seringkali harus didatangkan dari daratan Aceh dengan biaya logistik tinggi. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah sementara untuk meringankan beban masyarakat di kawasan pulau tersebut, yang masih bergulat dengan pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Status istimewa Sabang sebagai zona bebas perdagangan, diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), menjadi dasar pembenaran dari pihak daerah. Meski demikian, Kementan menekankan bahwa regulasi nasional tetap mengikat, termasuk larangan impor beras tanpa izin khusus untuk mencegah dumping yang bisa merugikan petani di seluruh Indonesia.
Pernyataan Menteri Sulaiman yang menyebut beras tersebut “ilegal” dan mempertanyakan aspek nasionalisme menuai kritik dari Aceh. Pemerintah daerah menilai narasi ini terlalu emosional dan tidak sensitif terhadap konteks konflik masa lalu di Aceh, di mana wilayah ini memiliki otonomi khusus.
“Ini bisa mendramatisasi situasi dan menyudutkan Aceh, padahal kami dipimpin oleh tokoh yang berkomitmen pada persatuan nasional,” tambah juru bicara.
Di sisi lain, Kementan membela posisinya sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan nasional, mengingat impor beras bisa memicu inflasi dan ketergantungan pada pasokan luar negeri.
Untuk menyelesaikan isu ini, Pemerintah Aceh mendesak Kementan untuk segera melakukan pengujian laboratorium terhadap beras tersebut dan melepaskannya jika terbukti aman dan sesuai standar. Sementara itu, pakar ekonomi menyarankan dialog intensif antara pusat dan daerah guna menghindari eskalasi.
“Konflik seperti ini menunjukkan pentingnya koordinasi yang lebih baik untuk memastikan kebijakan daerah selaras dengan agenda nasional, terutama dalam sektor pangan yang strategis,” kata seorang analis dari Institut Pertanian Bogor.
Kasus ini menjadi pengingat bagi pemerintah untuk memperkuat harmonisasi regulasi, agar inovasi daerah seperti di Sabang tidak bertabrakan dengan prioritas nasional. Di tengah tantangan ekonomi global, kolaborasi semacam ini diharapkan dapat menjaga stabilitas dan kesejahteraan masyarakat secara merata.





