Opini

Menjaga Pancasila Tetap Hidup dalam Kebijakan Negara

Oleh: Dr. Darmansjah Djumala^

Channel9.id-Jakarta. Di tengah derasnya arus regulasi dan pragmatisme kekuasaan, Pancasila kerap berisiko diperlakukan sekadar sebagai slogan normatif. Padahal, ideologi negara ini seharusnya hadir nyata dalam setiap kebijakan publik, dari pusat hingga ke lapisan terbawah masyarakat. Di titik inilah peran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menemukan relevansinya.

Refleksi Akhir Tahun BPIP 2025 memperlihatkan satu pesan penting: Pancasila tidak boleh berhenti sebagai dokumen historis, melainkan harus menjadi kompas etika negara. Sepanjang 2025, BPIP melakukan penyelarasan terhadap 17 regulasi dan menyusun 25 rekomendasi strategis etika penyelenggara negara. Secara kumulatif, lebih dari 180 regulasi telah dikaji dan 104 di antaranya dinilai belum sepenuhnya selaras dengan nilai-nilai Pancasila.

Angka-angka ini menunjukkan dua hal. Pertama, ada kesenjangan nyata antara produk kebijakan negara dan nilai dasar yang seharusnya menjiwainya. Kedua, tugas BPIP bukan sekadar simbolik, melainkan korektif—bahkan preventif—agar negara tidak tergelincir dari prinsip keadilan, kemanusiaan, dan etika publik.

Dewan Pakar BPIP, Darmansjah Djumala, menegaskan urgensi penyelarasan ini. Ia mengingatkan bahwa kebijakan publik tidak cukup hanya sah secara prosedural atau efektif secara teknokratis. Kebijakan harus dirasakan adil dan manusiawi oleh masyarakat, terutama mereka yang berada di lapisan paling bawah. Jika publik hanya “melihat” Pancasila tanpa pernah “merasakan” kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari, maka ideologi negara itu kehilangan makna praksisnya.

Namun tantangan terbesar justru terletak pada pendidikan ideologi. Selama lebih dari dua dekade, Pancasila kehilangan ruang ajarnya yang utuh di sekolah-sekolah. Sejak 2003, mata pelajaran Pancasila terintegrasi dengan pelajaran lain, membuat pendidikan ideologi lebih bersifat kognitif dan administratif, bukan pembentukan karakter.

Langkah BPIP menyusun 24 Buku Teks Utama Pendidikan Pancasila untuk jenjang SD hingga SMA patut dibaca sebagai upaya menambal kekosongan tersebut. Pendidikan Pancasila sejatinya bukan hanya soal hafalan sila atau sejarah perumusan dasar negara, melainkan pembiasaan nilai: keadilan sosial, penghormatan terhadap martabat manusia, dan etika dalam kehidupan bersama.

Penguatan kapasitas lebih dari 2.000 guru dan dosen juga menjadi investasi jangka panjang. Tanpa pendidik yang memahami Pancasila secara substansial, pendidikan ideologi berisiko kembali jatuh menjadi formalitas kurikulum.

Pada akhirnya, keberhasilan BPIP tidak bisa diukur semata dari jumlah regulasi yang diselaraskan atau buku yang diterbitkan. Ukuran sejatinya adalah apakah kebijakan negara makin dirasakan adil, manusiawi, dan beretika oleh publik. Pancasila hanya akan tetap hidup jika ia terus diuji, dikritisi, dan dihadirkan dalam praktik bernegara—bukan sekadar dirayakan dalam pidato.

Dalam konteks itulah, kerja BPIP menjadi pengingat bahwa ideologi negara bukan barang warisan yang selesai dirumuskan, melainkan tanggung jawab yang harus terus diperjuangkan.

Baca juga: Dewan Pakar BPIP Sentil Kebijakan Nir-Pancasila di Balik Banjir Besar Sumatra

^Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

29  +    =  32