Oleh: Darmansjah Djumala*
Channel9.id-Jakarta. Pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tentang situasi keamanan nasional yang berada pada level waspada terkendali patut dibaca dengan lebih jujur dan lebih dalam. Sebab, di balik frasa yang terdengar menenangkan itu, tersimpan fakta mengkhawatirkan: ruang digital Indonesia telah berubah menjadi ladang subur radikalisasi, bahkan bagi remaja dan anak-anak.
Kepala BNPT Eddy Hartono menyebut tren baru rekrutmen terorisme yang kini menyasar kelompok usia muda melalui media sosial dan ruang digital. Data yang dipaparkan—27 rencana serangan berhasil digagalkan, ratusan orang ditangkap dan disidangkan—menunjukkan aparat bekerja efektif di hilir. Namun, persoalan sesungguhnya berada di hulu: bagaimana ideologi kekerasan bisa masuk begitu dalam ke ruang privat anak-anak, tanpa pengawasan memadai.
Pernyataan saya sebagai anggota Kelompok Ahli BNPT berangkat dari kegelisahan yang nyata. Ketika radikalisasi tak lagi mengandalkan pertemuan fisik, melainkan bekerja melalui algoritma media sosial, gim daring, dan ruang percakapan digital, maka peta ancaman berubah total. Terorisme tidak lagi hadir sebagai sesuatu yang jauh dan asing, tetapi menyusup perlahan ke ruang paling privat: gawai yang setiap hari berada di tangan anak-anak dan remaja.
Kasus pengeboman oleh pelajar SMA di Jakarta Utara menjadi penanda paling brutal bahwa ruang digital telah gagal menjadi ruang aman. Anak yang seharusnya berada dalam fase pencarian jati diri justru dicekoki narasi kekerasan, glorifikasi martir, hingga tutorial membuat bahan peledak. Dalam situasi ini, negara tampak selalu datang terlambat—hadir setelah tragedi, bukan sebelum ideologi itu mengakar.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sepanjang 2025 Densus 88 memeriksa 112 anak yang terpapar radikalisme digital di 26 provinsi. Angka ini seharusnya menjadi alarm keras bahwa persoalan ini bukan kasus sporadis, melainkan fenomena nasional. Jika anak-anak telah menjadi target strategis, maka ini bukan lagi sekadar isu keamanan, melainkan krisis perlindungan generasi.
Sayangnya, respons negara masih terlalu bertumpu pada pendekatan keamanan. Penangkapan, pemeriksaan, dan penindakan memang penting, tetapi tidak cukup. Perang melawan terorisme, seperti dikatakan Dubes Djumala, kini berlangsung di the real battlefield: media sosial. Di medan ini, senjata utama bukan senapan, melainkan narasi.
Counter narasi tidak bisa dipahami sebagai sekadar konten tandingan yang formal dan kaku. Ia harus hidup, relevan, dan mampu berbicara dalam bahasa anak muda. Tanpa keterlibatan serius negara, platform digital, sekolah, keluarga, dan masyarakat sipil, ruang digital akan terus dimonopoli oleh propaganda kekerasan yang lebih gesit dan emosional.
Jika negara gagal melindungi anak-anaknya dari radikalisasi digital, maka “waspada terkendali” hanya akan menjadi jargon. Sebab, ancaman terbesar terorisme hari ini bukan bom yang meledak, melainkan ideologi yang tumbuh diam-diam di kepala generasi masa depan.
*Anggota Kelompok Ahli BNPT
Baca juga: Menjaga Pancasila Tetap Hidup dalam Kebijakan Negara





