Channel9.id-Jakarta. Pencopotan Komandan Kodim Kendari, akibat postingan yang bernada nyinyir sang isteri atas penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, harus menjadi pelajaran bagi keluarga anggota TNI.
Sebagai bagian dari prajurit, yang memiliki tugas-tugas yang berat selayaknya isteri mendukung tugas-tugas suami. Bahkan dalam komunikasi di media sosial, mereka juga harus mampu menjaga diri, mana yang masuk kategori urusan pribadi maupun kedinasan terkait tugas suami.
Akibat postingan sang isteri, Kolonel Kav. Hendi Suhendi harus rela melepaskan jabatannya sebagai Dandim 1417 Kendari. Kol. Hendi yang baru menjabat sebagai Komandan Kodim selama dua bulan ini, digantikan oleh Kol. Inf Yustinus Nono Yulianto.
Menurut pakar hukum Universitas Bung Karno Jakarta, Dr Azmi Syahputra, sanksi yang diberikan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andi Perkasa, kepada Dandi Kendari dinilai sudah tepat.
“Layak dikenakan pencopotan, dasarnya adalah di kalangan militer, ada ukuran dan aturan tersendiri. Kesalahan bawahan dapat menjadi tanggung jawab atasan , selain itu pula di militer, istri harus mendukung karir suami,” ujar Azmi kepada Channel9.id.
Karena itulah, seorang isteri perwira maupun prajurit TNI tidak boleh berjalan sendiri apalagi membuat statement sendiri. “Karena itu ada wadah Dharma Pertiwi. Lebih lanjut kegiatan dalam kemiliteran itu termasuk perilaku istri terkait pula pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit termasuk hukum kebiasaan di militer juga mensyaratkan bahwa prajurit dan istrinya harus patuh pada pimpinan termasuk menjaga perilaku,” katanya.
Jadi menurut Azmi Syaputra, dicopotnya jabatan Dandim agar jadi pembelajaran, harusnya isteri tentara punya level kekuatan hati yang lebih tinggi , tahu tempat dimana ia berdiri karena posisi dan fungsinya dirinya sebagai istri prajurit.
Ini karena iklim budaya kehidupan di tentara bukan hanya ditopang oleh prestasi suami, atasan namun harus didukung keluarga, karenanya sumpah Sapta Marga itu melekat pula pada istri (keluarga) termasuk budaya dan hukum yang tidak tertulis dalam kehidupan militer.
Untuk itu Azmi menyarankan, kiranya perlu disisir dan tracking statement yang bersangkutan di media sosial termasuk pergaulan sosial untuk mengetahui lebih detail tentang dirinya, guna mengetahui apakah yang bersangkutan cenderung mengeluarkan statement yang afirmasi-nya tidak netral, dan beraroma politik praktis, atau bagaimana ?
Ini semua dapat jadi batu uji atau ukuran perilaku yang bersangkutan karena jika bermedsosnya afirmasinya berlebihan dalam statement, ini adalah kurang tepat bagi istri prajurit dan karenanya sikap demikian ini berdampak pada kegiatan suami.
Disitulah gunanya aturan hukum untuk adanya batasan dalam bermedsos, malah kadang ada aturan saja gak diindahkan, apalagi tanpa aturan. Maka kejadian ini dapat menjadi pembelajaran untuk menguatkan loyalitas prajurit. Sekuat itu konsekuensi prajurit dan pasangan hidupnya yg memutuskan utk hidup bersama menjadi prajurit militer, ujar Azmi Syahputra yang juga ketua Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha).
Apalagi sepekan sebelum kejadian, tepatnya awal Oktober 2019 lalu, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa, sudah mengingatkan jajaran TNI AD untuk mematuhi surat telegram KASAD tentang penggunaan media sosial.
“Bila ada anggota melanggar dapat dijerat KUHPM pasal 103 tentang Taat pada atasa dengan ancaman 2 tahun 4 bulan. Dan UU ITE tentang penyebaran berita bohong dengan ancaman hukuman 6 tahun.”