Channel9.id – Jakarta. Polemik calon Jaksa Agung Republik Indonesia, sedang menjadi perbincangan hangat. Mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Khoirul Imam, menyebut baiknya Jaksa Agung berasal dari internal korps Adhyaksa.
Dalam perbincangan dengan Channel9.id di Jakarta, salah satu anggota Tim Perumus Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Prof. Dr. Romly Atmasasmita, ini menyebutkan bahwa posisi Jaksa Agung lebih baik berasal dari jaksa karier.
“Berbeda dengan seorang menteri, Jaksa Agung adalah satu-satuny pembuat keputusan di Kejaksaan Agung, baik itu urusan teknis maupun non teknis. “Should be decided by the Attorney General himself“,” ujar Khoirul Imam.
Menurut mantan Konsul Kejaksaan di Hongkong ini, pejabat Eselon 1, di Kejaksaan Agung bukan decision maker. Para Jaksa Agung Muda hanya deputi. Ini berbeda dengan di lembaga kementerian. Seorang menteri adalah seorang policy maker untuk kementeriannya.
Policy itulah yang kemudian dielaborasi jadi putusan-putusan teknis yang dilakukan oleh Dirjen dalam bentuk Keputusan Dirjen. Dirjen dapat bertanggung jawab atas keputusan teknis yang dibuatnya.
Sedangkan Jaksa Agung adalah “the only decision maker“. “Maka seorang Jaksa Agung harus mengetahui detail anatomi kejaksaan, SOP-SOP yang berlaku, personilnya, serta peraturan dan undang-undang yang relevan dengan tugas dan fungsi Kejaksaan, karena Jaksa Agung adalah figur teknis operasional,” ujarnya.
Lebih jauh Khoirul Imam menyebutkan, situasi sekarang ini berbeda dengan Indonesia di tahun 1950-an, dimana tindak kejahatan tidak secanggih sekarang ini. Kejahatan sekarang ini memiliki spektrum luas dengan teknologi canggih dan bisa terjadi lintas negara, sehingga membutuhkan seorang Jaksa Agung yang mengerti benar sistem hukum nasional maupun internasional, katanya.
Walaupun demikian menurut Khoirul Imam, untuk menjadi seorang Jaksa Agung, tidak perlu harus pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Muda. Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) asal memiliki kecerdasannya yang bagus bisa saja jadi Jaksa Agung.
“Dan itu tidak dilarang oleh konstitusi. Hanya saja, karena di Indonesia, ada tepo seliro, unggah-ungguh, sungkan dll. Jadi *sebaiknya* Jaksa Agung adalah eks Jaksa Agung Muda atau Wakil Jaksa Agung,” ujar Khoirul Imam.
Wacana Jaksa Agung dari internal atau bukan mencuat, berawal dari sorotan publik atas kinerja Jaksa Agung yang berasal partai politik. Sehingga pekerjaan penegakkan hukum, kerap bercampur dengan kepentingan di luar penegakan hukum itu sendiri.
Lebih baik jaksa karier. Berbeda dg seorg menteri, JA itu adlh satu2nya pembuat keputusan di Kejk.Agung, baik itu urusan teknis maupun non teknis, should be decided by the Attorney General himself. Pejabat esselon 1, di Kejks Agung bukan decision maker. Dia cuma deputy.Berbeda dg menteri. Seorang menteri adalah seorang policy maker utk kementeriannya. Policy itu dielaborasi jadi putusan2 teknis yg dilakukan oleh Dirjen dlm bentuk Keputusan Dirjen.Krn JA adlh the only decision maker, maka dia harus mengetahui detail anatomi kejaksaan, SOP2, personil, peraturan dan UU yg relevan dg tupoksi kejaksaan, krn JA adlh figur teknis operasional.Berbeda dg menteri yg seorang figur politik. Dia tdk perlu terlalu detail mengetahui teknis operasional kementerian, krn urusan teknis, dirjenlah yg bertgg jwb dan membuat keputusan.2. Seorang JA tdk perlu hrs sdh pernah jadi JAM. Ex kajati asal kecerdasannya bagus bisa saja jadi JA. Dan itu tdk dilarang oleh konstitusi. Tapi…, ini kan Indonesia, ada tepo seliro, unggah-ungguh, sungkan dll. Jadi *sebaiknya* JA adlh ex JAM atau WAJA.