Channel9.id-Jakarta. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengajak kampus sebagai institusi intelektual turut terlibat dalam pembahasan perubahan terbatas Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945).
Bamsoet mengatakan, MPR RI akan bekerjasama dengan berbagai kampus di Indonesia melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk mendapatkan masukan sekaligus brainstorming gagasan mengenai penataan wewenang dan tugas MPR RI ke depan.
“MPR RI periode 2014-2019 sudah mengamanahkan agar MPR RI 2019-2024 melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI 1945. Sebelum mengambil keputusan, MPR RI perlu melakukan kajian yang lebih mendalam, diantaranya melalui kajian-kajian akademik yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Karena itu, kajian akademik yang dilakukan Center for Election and Political Party (CEPP) Universitas Indonesia akan menjadi masukan yang sangat penting bagi MPR dalam merumuskan wewenang dan tugas MPR ke depan,” ujar Bamsoet saat membuka FGD ‘Penataan Wewenang dan Tugas MPR RI’, diselenggarakan CEPP FISIP UI, di Kampus UI Depok, Selasa (19/11).
Bamsoet memaparkan, sejauh ini ada berbagai gagasan yang perlu dielaborasi lebih jauh oleh kampus. Dengan dihapuskannya wewenang MPR untuk menetapkan GBHN, lanjutnya, maka sistem perencanaan pembangunan nasional tidak berlandaskan pada Ketetapan MPR tentang GBHN tetapi berlandaskan pada Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). yang disusun berdasarkan visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
“Dengan model sistem perencanaan pembangunan nasional yang demikian memungkinkan RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan mengingat implementasi RPJMN didasarkan kepada visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam pemilihan umum, yang masing-masing dapat memiliki visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan,” jelas Bamsoet.
Menurut Bamsoet, antara sistem perencanaan pembangunan nasional dan sistem perencanaan pembangunan daerah berpotensi menyebabkan ketidakselarasan pembangunan.
“Inkonsistensi arah dan kebijakan pembangunan antara jenjang nasional dan daerah (sub-nasional) berpotensi menghasilkan program-program pembangunan yang bukan saja tidak saling mendukung, tetapi juga bisa saling menegasikan satu sama lain,” terang Bamsoet.
Dia menambahkan, dari serangkaian diskusi yang dilakukan oleh MPR RI dengan berbagai kalangan, yang terdiri dari para tokoh masyarakat, pakar, dan akademisi, pada umumnya sependapat, bahwa diperlukan haluan negara dalam pelaksanaan pembangunan. Perdebatan barulah muncul ketika pembahasan mulai memasuki bentuk hukum apa yang paling tepat dilekatkan pada model GBHN itu sendiri.
“Disinilah letak penting kampus untuk memberikan masukan kepada MPR RI. Untuk meminimalisir terjadinya gejolak maupun dinamika di kemudian hari,” pungkasnya.