Channel9.id-Jakarta. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menggaungkan kebijakan Merdeka Belajar. Kebijakan ini menuai komentar sejumlah pihak, terutama dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seperti Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pasalnya, kebijakan tersebut dirasa sangat berkaitan erat dengan kompetensi guru.
Diketahui, LPTK merupakan lembaga yang mendidik dan menghasilkan guru.
Menanggapi wacana Mendikbud, Ikatan Alumni UNJ menggelar Forum Diskusi Pedagogik UNJ di Google Meet pada Rabu (15/4), dengan tajuk “Persoalan Guru Dalam Merdeka Belajar”.
Pada kesempatan ini, Rektor UNJ Komarudin menuturkan bahwa profesionalitas dan kompetensi guru menjadi elemen yang menentukan keberhasilan Merdeka Belajar. Kendati pun sudah ada program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang menerbitkan sertifikat sebagai legitimasi profesionalitas guru, ia masih mempertanyakannya. “Apakah lulusan PPG sudah benar profesional? Hasil penelitian meragukan itu. Justru sebagain besar tidak menunjukkan profesionalitas saat mengajar,” ujarnya.
Namun, ia masih tetap bangga karena ada guru yang memang menjadi pionir, menjadi penggerak, juga profesional, kendati tidak dibantu langsung pemerintah. “Itulah mereka yang menjadi guru dari panggilan jiwanya,” kata Komarudin.
Komarudin menggulirkan sejumlah pertanyaan. “Siapkah guru kita menjadi aktor pertama merdeka belajar? Guru pun harus merdeka. Tapi sejauh mana guru merdeka? Guru mestinya diberi kebebasan dari sekolah, mendesain pembelajaran dan lain-lain. Namun, sayangnya, kompetensi guru di Indonesia banyak yang rendah. Ini memprihatinkan. Ada apa sebenarnya? Guru merasa kepentingannya hanya menyelesaikan kewajiban mengajar,” tuturnya.
Sementara itu, di ruang yang sama, Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriawan Salim menuturkan bahwa guru yang merdeka menjadi kunci keberhasilan konsep Merdeka Belajar. “Menjadi guru yang merdeka bisa memberi kesadaran kritis pada anak. Karenanya, guru menjadi entitas keberhasilan pendidikan,” sambungnya. Ia melanjtukan, keadaaan seperti itu muncul di ruang kelas yang merdeka, di mana kesadaran kritis hadir.
Menurut Satriawan, konsep Merdeka Belajar harus bisa menjawab pertanyaan fundamental. “Merdeka dari apa dan untuk apa? Merdeka dari UN, birokrasi pendidikan, administrasi, atau apa?”
Pendiri dan CEO Pendidik Indonesia Pelopor Perubahan (PIPP) Nina Krisna berpendapat, ada lima hal yang menjadi persoalan guru dan membuatnya tidak merdeka, jika menjalankan Merdeka Belajar.
Pertama tentang kesejahteraan guru. Ia menuturkan, ada 1.354.830 guru yang non-PNS, di mana gajinya di bawah standard minimum. “Bagaimana mungkin mau menjalankan Merdeka Belajar kalau persoalan guru mesti dibagi 50% di rumah—mempertanyakan besok harus makan apa?, dan 50% untuk mengajar,” pungkasnya.
Kedua, pola pikir atau mindset. “Ada penelitian bahwa orang Indonesia itu lama banget untuk diajak mengubah mindset. Pikiran dari yang dulunya dijajah—oleh regulasi, pengawas, dan banyak hal lainnya—berubah menjadi guru yang pikirannya merdeka itu sulit,” akunya. Menurutnya, konsep Merdeka Belajar bermuara dari pikiran. Keadaan pikiran yang terajah itu berepengaruh pada pembelajaran di kelas. Jika pikiran tidak bisa diubah, ia meragukan keberhasilan kebijakan itu.
Ketiga, cara pengajaran. Mengacu pada Taksonomi Bloom, Nina mengatakan bahwa selama ini guru di Indonesia dalam mengajar hanya berfokus pada level menghafal (C1), memahami (C2), dan mengaplikasi (C3). “Padahal kita baru bisa dikatakan Merdeka Belajar kalau level pengajaran sudah mencapai menganalisa (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6),” pungkasnya.
Selain itu, penilaian terhadap anak nantinya bukan lagu hak prerogatif guru, melainkan penentuannya dibicarakan dengan si anak bersama guru.
Keempat, kemandirian guru. Ia merasa akreditasi sekolah selama ini sungguh tidak substansial bagi pengembangan anak. Sebab hanya berpaku pada nilai dan angka. “Hal ini bisa membut guru tidak mandiri karena abai terhadap pengembangan anak. Lebih baik akreditasi melihat sisi proses bagaimana sekolah tumbuh dan berkembang,” ujarnya.
Kelima, karier guru. Menurut Nina, paradigma lama mempersulit pengembangan dan naik jabatan guru. “Tahapan umunya guru honorrer, jadi PNS, jadi wali kelas, jadi wakil kepala sekolah, jadi kepala sekolah,” ujarnya.
Selanjutnya, Dosen Pendidikan Bahasa Perancis UNJ—yang juga mengamati pendidikan, Jimmy Paat mengatakan bahwa sisi pedagogis dalam pendidikan sudah tersingkirkan. “Pendakatan ini padahal penting,” tandasnya.
Ia mengibaratkan pedagogis sebagai segitiga, di mana masing-masing garis menyimpulkan hubungan murid, guru, dan pengetahuan. “Antara pengetahuan dan guru, menunjukkan pengetahuan. Antara pengetahuan dan murid, situasi belajar. Antara guru dan murid, proses mendidik,” jelas Jimmy.
Menurut Jimmy, dalam konteks ini, semestinya guru merdeka sehingga bisa memilih pengetahuan mana yang dipilih, yang bisa membawa muridnya untuk merdeka. Ia mengaku hubungan segitiga ini, dalam pendidikan, njelimet.
“Tapi kita tahu bahwa hampir sepertiga guru kita itu honorer, mereka ga merdeka,” tandasnya. Selama ini, kata dia, guru selalu di bawah naungan pemerintah—yang membuat standard pendidikan. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan itu berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain atau mandiri, dan dapat mengatur diri sendiri.
“Guru yang diberi otonom itu guru yang merdeka. Semestinya begitu, sebab inti dari Merdeka Belajar itu guru. Tapi, guru ini siapkah untuk mempersiapkan anak-anak yang merdeka?,” ujar Jimmy.
(LH)