Channel9.id – Jakarta. Imam Al-Ghazali membagi puasa menjadi tiga tingkatan yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus.
Tingkatan puasa tersebut dibagi berdasarkan pengalaman dan sifat seseorang dalam menjalankan ibadah puasa. Semakin tinggi tingkat puasanya, menunjukan pencapaian individu ke tahap spiritualnya.
Hal tersebut disampaikan Ulil Abshar Abdalla dalam diskusi daring “Spiritualitas Puasa” yang diadakan ISNU DKI Jakarta, Kamis (30/4).
“Imam Al-Ghazali membaginya berdasarkan pengalaman dan level seseorang menjalankan ibadah puasa. Ada Shaumu Umum, Shaumu Khusus, dan Shaumu Khususil Khusus. , ” kata Ulil.
Ulil menyampaikan, puasa umum adalah tingkatan puasa yang minimal dijalankan seseorang. Puasa tersebut ditujukan untuk orang yang lupa menjalankan ibadah lantaran tenggelam dalam rutinitas.
Jadi, dalam tingkat ini, puasa yang dijalankan mencoba menahan rasa lapar, haus, dan hasrat seksual.
“Puasa minimal. Puasanya orang-orang yang lupa. Orang-orang itu sibuk dengan kehidupan sehari-hari. Orang yang ditenggelamkan rutinitas,” kata Ulil.
Kemudian, pada tingkatan puasa khusus, puasa yang dijalankan mencoba mempuasakan seluruh anggota tubuh supaya terhindar dari dosa.
“Puasa yang tidak hanya mempuasakan perut dan zakarnya. Tapi, mempuasakan seluruh anggota tubuhnya supaya terhindar dari maksiat. Puasa ini juga sudah mulai menginjak menuju ke pengalaman spiritual seseorang,” ujar Ulil.
Sedangkan, Ulil menyatakan, puasa paling khusus adalah puasa yang dilakukan dengan jujur untuk Allah SWT. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukan puasa ini, seperti Nabi dan Rasul.
“Puasanya orang-orang khusus, puasanya para nabi dan rasul. Orang-orang yang jujur secara total untuk Allah SWT. Puasa ini orang yang tidak pernah lengah dari tuhan. Setiap momen tidak pernah lupa kepada tujuan hidup, yaitu Allah SWT. Puasa paling tinggi. Saya yakin melaksanakannya sulit sekali. Orang ini sudah mencapai pengalaman spiritual yang sudah tinggi,” kata Ulil.
Ulil menyatakan, tingkatan tersebut perlu dilalui untuk mencapai tujuan utama puasa.
Ulil sadar, sejumlah ulama memiliki pandangan berbeda terkait tujuan utama puasa.
Namun, menurutnya, dua tujuan utama puasa adalah meniru sikap Allah SWT dan Malaikat sebisa mungkin.
“Kita menanamkan akhlak dan sikap mental, yang merupakan akhlak Allah SWT. Akhlak yang ditanamkan di surat Al-Ikhlas, yaitu akhlak Samadiyah berasal dari sifat tuhan. Ash-Shomad, tempat bergantung. Tuhan menjadi rujukan hamba-hambanya. Tuhan tidak meminta kepada orang lain. Ini adalah karakter Allah SWT yang perlu ditanamkan,” jelasnya
Ulil menjelaskan, pada level manusia, karakter Tuhan mengajarkan manusia untuk tidak bergantung orang lain.
“Puasa mengajarkan suatu etika otonomi, kemerdekaan, independensi, tidak tergantung orang lain. Ini adalah salah satu akhlak Allah yang penting untuk ditiru,” kata Ulil.
Sedangkan, sifat yang ditiru dari malaikat adalah terkait syahwat. Ulil menjelaskan, malaikat tak memiliki syahwat. Namun, manusia bisa menjadikan malaikat model untuk mengendalikan hawa nafsu.
“Meski tak mungkin karena secara ontologis malaikat berasal dari cahaya dan manusia dari tanah, namun manusia harus menjadikan malaikat model. Malaikat berciri tidak punya syahwat. Nah, manusia harus menekan dan mencoba mengendalikan syahwat,” pungkasnya.
(Hendrik)