Channel9.id-Depok. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menggelar pertemuan dengan Walikota Depok, Mohammad Idris beserta jajaran Forkopimda kota Depok, Pimpinan OPD, dan camat se-Kota Depok untuk memonitor pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dalam kunjungannya, Tito didampingi oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Akmal Malik, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Bahtiar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, Syafrizal dan Staf Khusus Mendagri Bidang Politik dan Media, Kastorius Sinaga.
“Tujuan kami datang kesini adalah sharing, jadi bukan untuk briefing. Justru daerah yang memberikan informasi bagi kita perwakilan dari pusat, dan kita mendapat masukan dari bapak-bapak dan ibu-ibu yang bisa saya sampaikan juga ke tingkat pusat, tapi pemikiran kita adalah sama, yaitu untuk menghadapi dan menyelesaikan mslah Covid-19. Terkait Covid-19 ini, kita harus memiliki narasi yang sama” ujar Mendagri di Balai Kota Depok, Senin (04/05).
Dalam kata sambutannya, Tito menekankan bahwa dalam menangani dan menanggulangi Covid-19 beserta dampaknya, Pemerintah Pusat dan daerah harus satu narasi dan satu pemikiran.
“Tujuan kami datang kesini adalah sharing, jadi bukan untuk briefing. Justru daerah yang memberikan informasi bagi kita perwakilan dari pusat, dan kita mendapat masukan dari bapak-bapak dan ibu-ibu yang bisa saya sampaikan juga ke tingkat pusat, tapi pemikiran kita adalah sama, yaitu untuk menghadapi dan menyelesaikan mslah Covid-19. Terkait Covid-19 ini, kita harus memiliki narasi yang sama” ujarnya.
Tito menyebut, Jakarta sebagai sebagai kota megapolitan tidak bisa terpisahkan dari kota satelit di sekitarnya mulai dari Tangerang, Depok, Bekasi dan Bogor. Bisa dikatakan, lanjutnya, antara Jakarta dengan daerah sekitarnya hampir tidak ada batasnya.
“Kalau ditanya mana batasnya, itu dipeta saja ada batasnya, beda misalnya dengan Babel, Kepri atau di Bali, jelas ada batas alamnya, tapi dia Jakarta dan daerah sekitarnya, tidak ada. Sehingga dinamika yang terjadi kita tahu betul penduduknya itu 10 jutaan, tapi tiap hari dia bisa menjadi belasan juta. Orang-orang yang hilir mudik, commuter, dari Tangerang, Depok Bekasi dan Bogor,” kata Tito.
Jadi, kata dia, apapun yang terjadi di Jakarta, dengan cepat berefek pada daerah sekitarnya. Gejolak yang terjadi di Jakarra dan daerah sekitarnya akan juga mmpengaruhi gejolak di berbagai bidang dengan greater yang dikenal dengan istilah Jabodetabek.
“Nah kita tahu berkaitan dengan Covid-19, maka yang terjadi karena ini epicentrum, yang pertama kali warga Depok, meskipun banyak yang mengatakan sebelum itu mungkin sudah terjadi, tapi yang terekspos secara official warga Depok, pasien nomor 1, 2, 3, dia ada kegiatan di Jakarta, inilah menjelaskan bagaimna hubungan di Jakarta dan Depok dan daerah lain, saling bertimbal balik,” ujar Tito.
Saat ini, sambungnya, Jakarta adalah daerah dengan jumlah pasien positif Covid-19 tertinggi. Bahkan tingkat kematian juga tinggi di Jakarta. Kondisiini otomatis berdampak pada daerah sekitarnya, sebab banyak orang Depok dan kota-kota satelit lainnya yang bekerja di Jakarta.
“Karena itulah Kemendagri memberikan memberikan perhatian kepada daerah-daerah yang menjadi daerah merah tertinggi. Saya sudah berkunjung kepada Gubernur DKI Jakarta Pak Anies Baswedan bulan lalu, langsung saya lanjutkan ke Jawa Barat, setelah itu saya langsung ke Banten, dan berkumpul dengan semua bupati di Banten dan yang belum saya datang memang mohon maaf dengan kota Depok dan Kabuapaten atau Kota Bekasi,” imbuh Tito.
Ia mengungkapkan, wabah Covid-19 telah berdampak pada semua sektor, khususnya sektor ekonomi. Tak hanya di Indonesia, tapi hampir seluruh negara di dunia.
“Kita melihat bahwa krisis kesehatan di Indonesia juga berdampak pada konomi dari yang besar sampai yang kecil, dari perusahaan-perusahaan besar, menegah sampai yang mikro sampai yang ultra mikro, tukang-tukang gorengan segala macam, semua terdampak. Semua mengalami, pusat mengalami pukulan dari krisis ekonomi, lari ke krisis keuangan,” katanya.
Tito menjelaskan, kondisi tersebut menjadi dilema, antara mengutamakan kesehatan masyarakat dengan menyelamatkan ekonomi. Karena itu, kata dia, saat ini kesehatan masyarakat adalah adalah yang utama, tapi menjaga ekonomi juga jangan diabaikan.
Ia menambahkan, untuk membiayai kesehatan masyarakat diperlukan biaya yang tidak sedikit. Jika ekonomi berhenti tak ada kemampuan untuk memperkuat kapasitas kesehatan masyarakat.
“Kalau duitnya tidak ada bagaimana, uangnya dari mana. Itu dari ekonomi. Sebaliknya kecepatan kita dalam menangani Covid-19 akan membuat ekonomi cepat pulih juga, sehingga dua duanya ini tidak boleh salah satu dikosongkan atau dihilangkan,” tandas Tito.