Channel9.id – Jakarta. Mendagri Tito Karnavian menyatakan, sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, mampu memberikan warna baru dalam proses demokrasi di Indonesia.
Diketahui sebelumnya, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah, telah membuka jalan demokrasi.
Menurut Tito, ada empat dampak positif dengan diadakannya Pilkada secara langsung.
“Pertama yaitu sebagai indikator adanya demokrasi, di mana kekuasaan ada di tangan rakyat. Rakyat memilih pemimpinnya secara langsung,” kata Tito dalam diskusi virtual ‘Mengapa Kita Butuh Kepala Daerah’ yang diadakan Nagara Intitute, Sabtu (20/6).
Kedua, Pilkada langsung bisa memberikan sistem cek and balance. Dalam hal ini, rakyat bisa mengoreksi kepala daerah yang dipilihnya.
“Ketiga adalah kepala daerah yang sudah dipilih berdasarkan pemilu memiliki legitimasi yang kuat,” kata mantan Kapolri ini.
Terakhir, Pilkada secara langsung bisa melahirkan pemimpin-pemimpin baru dari calon perorangan yang tidak ada dalam sistem sebelumnya.
“Memang ada aspek positif yaitu lahirnya pemimpin-pemimpin yang kalau melalui sistem pemilihan tertutup di DPRD mungkin tidak akan muncul,” kata Tito.
“Yang terjadi adalah kader-kader, partai yang kemudian didominasi oleh partai-partai tertentu dan kemudian pemimpinannya tidak dipilih langsung oleh rakyat tapi oleh DPRD,” lanjut Tito.
Menurut Tito, bila tetap menggunakan sistem pilkada tertutup, maka orangnya itu-itu saja.
“Kita lihat beberapa negara tetangga kita, bahkan negara-negara lain yang menggunakan sistem pemilihan tertutup, mohom maaf, mungkin orangnya itu-itu saja, Bahkan yang usianya mungkin sudah sangat sepuh, dia lagi yang dipilih karena adanya mekanisme tidak langsung,” kata Tito.
“Tapi dengan pemilihan langsung warna positifnya kita melihat ada pemimpin-pemimpin baru, kita melihat adanya generasi-generasi calon-calon pemimpin di tingkat daerah yang bisa berkiprah di tingkat nasional,” ujar Tito.
Kendati demikian, Tito menilai, Pilkada secara langsung bisa memunculkan manipulasi demokrasi. Dalam hal ini, manipulasi demokrasi bisa terjadi bila pemilu diterapkan pada masyarakat yang masih berbentuk piramida.
“Artinya, masyarakat yang masih sedikit high class, lalu midlle class-nya tidak terlalu besar dan sebagian besar masyarakatnya adalah low class,” kata Tito.
“Low class kita adalah mereka yang poorly educated secara pendidikan tidak memadai, kemudian secara kesejahteraan tidak memadai. Mereka belum memahami arti demokrasi,” lanjut Tito.
Berdasarkan kondisi itu, Tito menilai demokrasi dapat dimanipulasi oleh para pemegang kekuasaan dan para pemilik dengan cara menggiring opini publik karena bisa mengendalikan media.
“Akibatnya yang terjadi adalah kita melihat di lapangan para pemilih-pemilih kita di daerah-daerah yang dipenuhi oleh low class kualitas pemimpin yang dipilih belum tentu sesuai dengan yang diharapkan,” katanya.
Selain itu, pilkada langsung juga bisa memimbulkan korupsi di daerah. Karena, seseorang yang ingin mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan pasti harus mengeluarkan banyak biaya.
“Paling tidak yang resmi-resmi saja biaya saksi kemudian juga biaya untuk tim sukses, biaya untuk kampanye. Belum lagi, mohon maaf, mungkin ada yang transaksional untuk mendapatkan perahu, katakanlah perahu partai,” pungkasnya.
(HY)