Channel9.id – Jakarta. Mendagri Tito Karnavian mengusulkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) menggunakan sistem asimeteris.
Masyarakat, kata Tito, tak perlu memandang aneh dan alergi bila penyelenggaraan Pilkada asimetris bisa diterapkan di Indonesia.
“Saya bilang Pilkada asimeteris mungkin perlu dipertimbangkan. Ini bukan sesuatu yang aneh, dan kita juga enggak perlu alergi dengan Pilkada asimeteris,” kata Tito diskusi virtual ‘Mengapa Kita Butuh Kepala Daerah’ yang digelar Nagara Institute, Sabtu (20/6).
Mantan Kapolri ini menyatakan, Pilkada asimetris memungkinkan daerah memiliki mekanisme berbeda dalam memilih kepala daerah.
Namun, Tito mengingatkan, Pilkada asimetris itu, bisa digelar dengan didasarkan pada karakteristik daerah tertentu, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu daerah, kemampuan fiskal, atau potensi konflik.
Terkait IPM, Tito menyatakan, hal itu bisa menjadi salah satu indikator untuk melihat kedewasaan berdemokrasi.
“Kita harus melihat kedewasaan demokrasi. Di daerah itu betul-betul siap enggak rakyatnya untuk memilih pemimpin? Paham enggak mereka harus memilih pemimpin yang tepat,” kata Tito.
“Untuk melihat kedewasaan demokrasi ini saya menyarankan agar, dan saya juga membaca di hasil penelitian LIPI, menggunakan IPM. Karena ada tiga hal yang diukur IPM Itu, yang pertama tingkat pendidikan, kedua tingkat kesehatan, yang ketiga adalah kemampuan rumah tangga. Sehingga nanti ada daerah dengan kategori IPM-nya tinggi. Mereka berdewasa berdemokrasi, mereka siap berdemokrasi, mereka mengerti bahwa memilih pemimpin itu penting,” lanjut Tito.
Tito menambahkan, pada masyarakat dengan tingkat IPM rendah bisa menggunakan opsi Pilkada tak langsung untuk meminimalisir manipulasi dari pihak tertentu.
“Kalau yang IPMnya rendah, banyak masyarakat yang kurang sejahtera, kemampuan fiskal daerah rendah karena tergantung transfer pusat. Apalagi sistem sosial budaya saat digelar Pilkada justru berkonflik. Nah di daerah ini kita sarankan tak Pilkada langsung. Tapi menggunakan DPRD atau mekanisme lain, tapi tetap ada calon perseorangan,” kata Tito.
Menurut Tito, Indonesia membutuhkan suatu mekanisme pemilihan kepala daerah yang berbiaya rendah dan minim konflik di tengah-tengah masyarakat.
Lantaran, Pilkada langsung bisa melahirkan banyak dampak negatif bagi masyarakat, seperti potensi konflik yang tinggi yang terjadi di beberapa daerah seperti Papua dan Aceh.
Pilkada langsung juga membutuhkan biaya politik yang tidak sedikit, baik dari sisi anggaran yang dikeluarkan negara maupun dari calon kepala daerah untuk biaya saksi dan kampanye.
“Election memang baik, sebagai simbol demokrasi. Tapi apapun dalam ilmu security, ilmu keamanan, mereka membelah. Kita sebenarnya sudah melegalisasi masyarakat untuk terbelah, mereka terbelah memilih pilihan masing-masing. Tiap perbedaan mengandung potensi konflik,” kata Tito.
Tito menyebut beberapa daerah di Indonesia yang saat ini sudah menerapkan konsep Pilkada asimeteris
“Salah satunya, Provinsi DIY Yogyakarta yang menerapkan mekanisme Sri Sultan Hamengkubuwono otomatis menjadi Gubernur tanpa melalui pemilihan,” kata Tito.
Tak hanya itu, ia juga mencontohkan Provinsi DKI Jakarta juga menerapkan sistem pemilihan walikota di 5 wilayah dan bupati Kepulauan Seribu melalui mekanisme pengangkatan oleh Gubernur DKI Jakarta.
“Jadi mereka gak memikul beban Pilkada. Jadi sebenarnya asimeteris itu sudah terjadi,” pungkas Tito.
(HY)