Nasional

Minta Pemerintah Benahi Regulasi PPDB Secara Nasional, FSGI: Prioritas Utama Jarak Bukan Usia

Channel9.id – Jakarta. FSGI meminta pemerintah pusat dan daerah segera memperbaiki regulasi PPDB untuk alokasi afirmasi dan zonasi secara nasional.

Pasalnya, sejumlah sekolah di daerah masih mengutamakan syarat usia dibandingkan jarak tempat tinggal dari rumah peserta didik. Hal itu berpotensi menyalahi Permendikbud No 44 Tahun 2019 tentang PPDB.

Dalam hal ini, Wasekjen FSGI Satriawan Salim mencontohkan kasus kebijakan PPDB di DKI Jakarta.

“Secara yuridis formal, kebijakan PPDB di DKI Jakarta untuk alokasi afirmasi dan zonasi yang memprioritaskan usia calon peserta didik alih jenjang, berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta No 501 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB 2020 berpotensi menyalahi Permendikbud No 44 Tahun 2019 tentang PPDB,” kata Satriawan berdasarkan keterangan tertulis, Kamis (25/6).

Satriawan menjelaskan, dalam Pasal 25 ayat 1 Permendikbud No 44/2019 menyatakan Seleksi calon peserta didik baru SMP (kelas 7) dan SMA (kelas 10) dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yg sama.

“Nah, di sini sangat jelas sekali frasenya tertulis yaitu dilakukan dengan memprioritaskan jarak, jelas sekali prasyaratnya bukanlah usia, melainkan jarak!” tegas Satriawan.

Kemudian dalam Ayat 2 Permendikbud tersebut menjelaskan Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sebagaimana maksud ayat 1 sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua.

“Jadi sebenarnya sudah sangat clear di dalam pasal ini, bahwa patokan PPDB zonasi itu adalah jarak rumah siswa dengan sekolah, bukan seleksi berdasarkan usia,” tegasnya kembali.

Adapun seleksi prioritas usia tertua bisa dilakukan jika jarak rumah calon siswa dengan sekolah adalah sama.

“Kenyataannya di sekolah-sekolah negeri di DKI berkata lain, misal di SMA Negeri X dan SMP Negeri Y (yang FSGI coba wawancarai, tak mau disebutkan nama sekolahnya oleh narasumber). Penerimaan siswa jalur afirmasi kuotanya sebesar 25 % dari daya tampung di sekolah tersebut. Nah, ketika calon siswa mendaftar ke sekolah, secara otomatis by system maka yang bisa ikut pendaftaran afirmasi adalah para siswa yang usianya di atas/lebih tua. Misalnya usia 19; 18; 17. Diambil dari 1-25 dengan usia tertinggi tersebut. Otomatis usia di bawahnya tak bisa mendaftar atau langsung tertolak oleh sistem, sebab kuotanya sudah terpenuhi,” ujarnya.

Lebih mengkhawatirkan lagi, prasyarat utama usia ini juga diberlakukan bagi jalur zonasi (jarak) yang di DKI Jakarta alokasinya sebesar 40%.

“Sama dengan contoh di atas tadi. Artinya calon siswa pendaftar yang usianya di bawah, jika melampaui kuota di sekolah, maka yang akan diambil adalah yang usia tertua. Pada konteks inilah kebijakan dan pelaksanaan PPDB DKI berpotensi diskriminatif dan bertentangan dengan Permendikbud No. 44/2019,” lanjutnya.

Terkait alokasi 40% untuk jarak/zonasi tersebut, Satriawan menyatakan, jelas-jelas kontradiktif dengan Permendikbud No. 44/2019. Sebab, Permendikbud menetapkan angka alokasi jalur zonasi (jarak) adalah minimal 50%.

“Adapun prasyarat usia tertua memang ada di dalam Pasal 25 Ayat 2, tetapi konteksnya berbeda yaitu jika jarak rumah dengan sekolah para calon siswa adalah sama. Jadi menempatkan syarat atau ketegori usia sebagai prasyarat utama atau menempatkannya diseleksi awal untuk alokasi jarak dan afirmasi, memang berpotensi menyalahi Permendikbud No 44/2019,” ujarnya.

Bahkan, dalam Pasal 6 Permendikbud 44/2019 menyatakan, Persyaratan calon peserta didik baru kelas 7 SMP, berusia paling tinggi 15 tahun pada 1 Juli tahun berjalan. Kemudian, dalam pasal 7, persyaratan calon peserta didik baru kelas 10 SMA atau SMK, berusia paling tinggi 21 tahun pada 1 Juli tahun berjalan.

“Jelas di sini tidak ada tertulis syarat minimal untuk usia calon siswa masuk SMP dan SMA/SMK. Artinya para siswa berusia muda juga berhak masuk SMP atau SMA/SMK,” ujarnya.

Oleh karena itu, FSGI meminta Mendikbud Nadiem Makarim membenahi daerah-daerah yang membuat kebijakan sendiri-sendiri yang berpotensi menyalahi Permendikbud PPDB. Menurut Satriawan, keadilan dalam pendidikan tak akan tercapai bila daerah membuat aturan sendiri-sendiri.

“Terkesan selama proses PPDB ini, Kemdikbud belum melakukan upaya maksimal mengarahkan, mendampingi, dan menandu dinas pendidikan daerah. Mas Menteri mestinya terjun ke daerah, mengecek langsung pelaksanaan proses PPDB yang sedang berjalan,” pungkasnya.

(HY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  6  =  10