Channel9.id-Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya menerbitkan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 33 tahun 2020 sebagai perubahan atas Perwali Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Surabaya.
Salah satu isinya menerangkan bahwa seluruh pekerja yang keluar masuk Surabaya harus berstatus non-COVID-19.
Revisi perwali ini pun mendapat tanggapan berbeda-beda dari para pekerja yang bahkan setiap hari harus pulang pergi (PP) daerahnya menuju Surabaya. Respon dari para pekerja pun mulai pro hingga kontra.
Penunjukan hasil rapid test juga bisa menghindari adanya penularan dan menularkan virus Corona. Sebab, tak hanya dari pemerintah dan medis saja yang memiliki peran besar dalam menghentikan pandemi, tetapi juga masyarakat.
Dari hasil survei pendapat di lapangan dari para pekerja yang pro berpendapat pemerintah dan medis sudah berusaha dan berjuang mati-matian, maka masyarakat juga harus ikut membantu agar pandemi tidak terus berkelanjutan, “kami juga ingin hidup tenang tanpa virus ini” jelas mereka, kamis (16/7/2020)
Sebaliknya ada juga yang kontra terhadap peraturan ini salah satunya pekerja asal Kota Mojokerto, Hendra Purwanto Utomo (23) merasa keberatan dengan revisi perwali No. 33 itu. Menurutnya itu sangat membebani pekerja dari luar Surabaya,dengan rapid test yang harganya tidaklah murah.
“Tidak setuju, menurut saya jika setiap kali PP ke Mojokerto harus membawa surat rapid tes ini sangat membebani masyarakat. Karena biaya rapid test sendiri yang saya tahu masih tergolong mahal sekitar Rp 350.000,” kata Hendra.
Terlebih masa berlaku rapid test hanya 14 hari. Artinya, dalam satu bulan dia harus mengeluarkan biaya Rp 750.000. Sedangkan gajinya saja kurang dari UMR Surabaya dan kebutuhan hidupnya juga tidak sedikit.
“Mungkin jika peraturan itu terus berlaku masyarakat akan sangat terbebani. Kecuali jika biaya rapid test keseluruhan ditanggung oleh pemerintah sih masih bisa dipertimbangkan,” ujarnya.